SEDINGKLIK ONGKLAK-ANGKLIK

Minggu, 16 Mei 2010

YOGYAKARTA PERPESPEKTIF SOSIOHISTORIS


Oleh: Dr. Purwadi, M.Hum
Dosen Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta



A. Babad Palihan Negari
Munculnya predikat keistimewaan Yogyakarta dapat dilacak dari perjuangan Pangeran Mangkubumi yang kelak bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Pada mulanya raja Kraton Surakarta, Susuhunan Paku Buwono II dalam keadaan sakit parah berhasil dipaksa oleh VOC untuk menandatangani perjanjian yang pada pokoknya merupakan “penyerahan Negara Mataram seluruhnya kepada VOC hanya dengan syarat bahwa keturunan Baginda yang memang berhak naik tahta kerajaan menurut garis turun-temurun akan dinobatkan menjadi raja di Mataram oleh VOC.”
Dengan terlaksananya perjanjian seperti itu, sesungguhnya tamatlah sudah riwayat Kerajaan Mataram, dan meskipun kemudian masih disebut-sebut pada hakekatnya itu adalah tinggal nama saja. Secara de facto dan de jure sejak itu sesungguhnya Mataram adalah hak VOC . Segala putusan yang bersifat politis dan ekonomis diambil alih oleh Belanda.
Ketika berita akan diserahkannya Mataram kepada VOC sampai di telinga Pangeran Mangkubumi, makin menyalalah amarahnya dan ia berniat membebaskan negerinya dari cengkeraman VOC. Kehendak ini belum berhasil dilaksanakan ketika Susuhunan Paku Buwono II menyatakan diri turun tahta, dengan maksud mbegawan dan seterusnya memakai gelar Kyai Ageng Mataram.
Pada waktu Paku Buwono II telah turun tahta dan belum diangkat Sunan berikutnya, Kerajaan Mataram dalam keadaan vakum. Kemudian para pengikut Pangeran Mangkubumi mengangkatnya sebagai Raja Mataram dengan gelar Sri Susuhunan Paku Buwono juga. Tetapi karena penobatan yang berlangsung pada 11 Desember 1749 itu bertempat di Desa Kebanaran, maka untuk selanjutnya Pangeran Mangkubumi lebih dikenal dengan sebutan Susuhunan Kebanaran. Walaupun kemudian VOC mengangkat antara dua pihak, VOC itu pula yang mengusulkan untuk “menghentikan perang saudara” dan mengikat sebuah perjanjian .
Pertikaian politik Kraton Mataram telah menghabiskan daya dan dana yang luar biasa besar. Stabilitas politik dan keamanan yang kacau balau benar-benar mengganggu roda perekonomian kerajaan. Raja dan bangsawan terkuras keuangannya, sehingga terlilit utang yang berlipat ganda bunganya.
Puncak dari kebangkrutan sosial, ekonomi dan politik ini terjadi pada tanggal 11 Desember 1749, dengan ditanda tanganinya, Het Allerbelangrijkste Contract, sebuah perjanjian yang paling penting. Dalam perjanjian ini Sunan Paku Buwono II menyerahkan Kraton Mataram secara total kepada VOC, dengan pimpinannya Gubernur Jenderal Gustaf Wilem Baron Van Imhof . Boleh dikatakan perjanjian itu merupakan kasus penjualan negara.
Sri Sultan Hamengku Buwono I memerintah Kraton Yogyakarta antara tanggal 13 Februari 1755 – 24 Maret 1792. Sebelum menjadi Sultan Yogyakarta, beliau bergelar Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi adalah putra Sunan Amangkurat IV (1719 – 1726). Konflik kerajaan Surakarta bermula pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono yang bertahta antara tahun 1726–1749. Pihak oposisi dipimpin oleh Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi . Keduanya bahu-membahu membebaskan negerinya dari cengkeraman bangsa asing.
VOC pada saat itu merupakan institusi bisnis internasional yang menjadi sarang kaum kapitalis besar. Para pemilik modal kelas kakap berkumpul bersama VOC. Di antara mereka banyak yang berkolusi dengan para elit istana. Fungsi dan peran VOC saat itu mirip dengan perilaku IMF sekarang.

Penjualan negara itu mengundang reaksi yang sangat keras Pangeran Mangkubumi yang menjadi pimpinan barisan oposisi kerajaan bersama-sama dengan para bangsawan idealis menggugat perjanjian tersebut. Situasi semakin tegang dan panas. Kerusuhan sosial terjadi di mana-mana.
Raja Mataram baru, yaitu Sunan Paku Buwono III tetap meneruskan kebijakan politik pendahulunya. Ketegangan yang mengeras berubah menjadi peperangan berkepanjangan antara kraton yang disokong penuh oleh VOC melawan Pangeran Mangkubumi yang beraliansi dengan Raden Mas Said.
Perang terbuka dan gerilya selama 6 tahun (1749 – 1755) ternyata cukup melelahkan kedua belah pihak. Pada tanggal 13 Februari 1755 dicapai kesepakatan antara Sunan Paku Buwono III dengan Pangeran Mangkubumi. Isi perjanjian itu bahwa Pangeran Mangkubumi diberi separuh kerajaan Mataram dengan ibukota di Yogyakarta. Perjanjian ini dalam sejarah disebut dengan Perjanjian Giyanti atau Babad Palihan Negari.
Babad Palihan Negari atau Perjanjian Giyanti ditandatangani pada 13 Februari 1755. Sebuah perjanjian yang pada pokoknya “membelah negara” atau membelah negara Mataram menjadi dua bagian. Separuh diperintah oleh Susuhunan Paku Buwono III dengan ibukota Surakarta, bagian yang lain dikuasai oleh Susuhunan Kebanaran yang sejak itu berganti gelarnya menjadi Sultan Hamengku Buwono I, dengan ibukota Ngayogyakarta . Pembagian negara ini juga diikuti dengan pembelahan budaya. Budaya Surakarta dengan budaya Yogyakarta seolah-olah bersaing keras yang tidak jarang menciptakan perselisihan.
Pangeran Mangkubumi resmi menjadi raja Yogyakarta dengan gelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Khalifatullah Ngabdurrahman Sayiddin Panatagama Ingkang Jumeneng Ing Negari Yogyakarta Hadiningrat Ingkang Jumeneng Sepisan. Orang umum lebih mengenal dengan sebutan Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Terhadap tiga kekuatan itu Mangkunegoro masih dapat mempertahankan diri dua tahun lamanya dan pada hari Kamis, tanggal 24 Februari 1757, beliau menyerah dengan rela hati pada Susuhunan. Permusyawaratan antara Kompeni (Hartingh), Sunan Mas Said dan Danurejo I (utusan dari Sultan) terjadi pada hari Kamis, tanggal 17 Maret tahun 1757. Dalam pertemuan itu Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyowo diangkat menjadi Pangeran Miji dengan upacara istimewa dan diberi lungguh sebesar 4000 karja. Sebagian dari lungguh ini ialah Daerah Kaduwang; yang lain terletak di Laroh, Matesih dan Gunungkidul. Selanjutnya dipastikan, bahwa Mangkunegoro diwajibkan menghadap Sunan pada tiap hari Senin, Kamis dan Sabtu .

B. Membangun Kraton Yogyakarta
Pada tanggal 7 Oktober 1756, Sri Sultan Hamengku Buwono I mulai menempati Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, setelah sejak 5 April 1755 dimulai pembukaan Hutan Pabringan. Penyelesaiannya ditandai dengan sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal, yang menunjukkan tahun 1682 J dan yang mengungkapkan makna yang tersirat: Sari-Rasa-Tunggal (artinya: Hakikat Kesatuan) dan Sarira-Satunggal (yang berarti: Kepribadian). Selanjutnya tanggal 7 Oktober itu diperingati sebagai Hari Jadi Kota Yogyakarta (Damardjati, 1993). Sebuah peringatan hari kelahiran yang tidak lupa dengan hari kebatinan, sebagai ungkapan ikhlas lahir batin.
Dibangunnya kota Ngayogyakarta di Hutan Beringan hal ini ada sejarahnya. Tempat ini pernah merupakan kota kecil yang indah di mana ada istana pasanggrahan yang disebut Garjitawati. Pada jaman pemerintahan Paku Buwono II pasanggrahan ini diberi nama Ngayogya dan dipergunakan sebagai tempat pemberhentian jenazah para raja yang akan dimakamkan di Imogiri. Untuk mengabdikan nama itu, ibukota daerah Sultan Hamengku Buwono I diberi nama Ngayogyakarta . Ngayogyakarta berasal dari dua kata yaitu Yogya dan Karta. Yogya berarti pantas, terhormat, indah, bermartabat, mulia. Karta berarti perbuatan, karya, amal. Dengan demikian Ngayogyakarta berarti tempat indah yang selalu dibuat bermartabat dan terhormat.
Ibukota atau kota istana tidak hanya merupakan pusat politik dan kebudayaan, melainkan juga sebagai pusat magis kerajaan. Berhubung jagat raya, yang menurut kosmologi Brahman atau Budhis atau keduanya, berpusat di Gunung Meru, maka kerajaan, yang merupakan jagat kecil, harus pula memiliki Gunung Meru pada pusat kotanya, dan Gunung Meru di pusat kota ini akan menjadi pusat magisnya . Orang Jawa menyebut ibukota kerajaan dengan istilah negara. Pulang dari ibukota berarti pulang dari negara.
Negara kosmis sangat erat hubungannya dengan konsep raja yang bersifat dewa, yaitu anggapan bahwa raja adalah titisan atau keturunan dewa. Konsep raja-dewa atau ratu-binathara ini pada periode kerajaan Islam tidak menempatkan raja pada kedudukannya yang sama dengan Tuhan, melainkan sebagai khalifatullah, sebagai wakil Tuhan di dunia. Namun demikian, penurunan kedudukan ini tidak mengubah kekuasaan raja terhadap rakyatnya . Contoh, Sultan Hamengku Buwono VIII dianggap oleh rakyatnya sebagai titisan Sang Hyang Wisnu.
Soal pemberian nama dan pemilihan tempat untuk ibukota kerajaan di jaman dulu, selalu dipersiapkan secara matang baik lahir maupun batin. Di jaman raja-raja dulu, membangun kraton bagi raja selalu diawali dengan penyelidikan seksama mengenai: letak daerahnya, hawa udaranya, kesuburan tanah, keindahannya, keamanannya baik terhadap bencana alam maupun terhadap serangan musuh. Mengingat bahwa Sultan Hamengku Buwono I dalam sejarah selalu dikenal sebagai orang yang pandai serta ahli dalam membangun, tentu juga telah mengadakan pengamatan lahir dan batin sebelum memerintahkan membangun Kraton Yogya sebagaimana yang kita lihat sekarang . Untuk penyelenggaraan pembangunan dan perhelatan yang penting, orang Jawa mesti mencari dina (hari) yang baik.

C. Tahta Untuk Rakyat
Tahta untuk rakyat berarti segala kewenangan dan kekuasaan raja semata-mata diabdikan demi keselamatan, kesejahteraan, kemakmuran, ketentraman rakyat. Sultan Hamengku Buwono IX mendapat amanah sebagai pemimpin tradisional dan pemimpin formal senantiasa demi bangsa dan negara. Hal ini sepanjang dia menjabat hingga wafat telah ditunaikan dengan cukup prima dan sempurna.
Ngarsa Dalem Hamengku Buwono IX telah sadar sepenuhnya akan dimensi kultural dari keberadaan Kraton Ngayogyakarta. Ajaran Pangracutan dari Sri Sultan Agung, tidak hanya dihayati secara pribadi, melainkan juga dilaksanakan secara sosial. Racut, yaitu Warangka Manjing Curiga, Curiga Manjing Warangka, yaitu rumusan lain dari Pamoring Kawula Gusti akan dipahami sepenuhnya oleh mereka yang telah mencapai pengalaman Eneng-Ening. Tahta Untuk Rakyat adalah bukti nyata pemahaman dan penghayatan Sinuwun Hamengku Buwono IX akan pedoman hidup tersebut (Damardjati, 1993).
Setelah diadakan Proklamasi Kemerdekaan dan setelah berdasarkan segala sesuatu revolusi Indonesia mencetus dan berkobar dengan dahsyatnya, maka rakyat menghendaki dengan keras, agar Kasultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman itu secara positif menyatakan dengan tegas, apakah akan memihak kepada Republik Indonesia, ataukah akan bersikap ragu-ragu sambil memperhitungkan kemungkinan akan berkuasanya lagi penjajah Belanda di Indonesia. Desakan rakyat yang keras ini mendapat tanggapan yang positif dari Sri Sultan Paku Alam dengan dikeluarkannya Amanat 5 September 1945 yang berbunyi sebagai berikut: .

AMANAT SRI PADUKA INGKENG SINUWUN KANJENG SULTAN

Kami Hamengku Buwono IX, Sultan Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat menyatakan:
1. Bahwa Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam negeri Ngayogyakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya.
3. Bahwa hubungan antara Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung jawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Kami memerintahkan supaya segenap penduduk dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini.

Ngayogyakarta Hadiningrat, 28 Puasa Ehe 1876
Atau 5 – 9 – 1945
Hamengku Buwono IX


Pada tanggal 27 Desember Sultan Hamengku Buwono IX telah menebus semua perjuangan para leluhurnya dalam melawan penjajah. Sejak saat itu Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatannya kepada RI. Pihak pemerintah RI dalam penyerahan kedaulatan itu diwakili oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Tanda tangan Sri Sultan Hamengku Buwono yang secara legal konstitusional telah mengakhiri penjajahan Belanda di Indonesia. Begitulah keistimewaan Yogyakarta apabila ditelusuri dari perspektif historis dan sosiologis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar