SEDINGKLIK ONGKLAK-ANGKLIK

Minggu, 16 Mei 2010

AJARAN FILSAFAT JAWA



Oleh: Dr. Purwadi, M.Hum
Fakultas Bahasa dan Seni UNY
Jl. Kakap Raya 36 Minomartani Yogyakarta Telp. 0274-881020

A. Hakikat Kebenaran
Kata filsafat berasal dari sebuah kata majemuk dalam bahasa Yunani, philosophia yang berarti cinta kebijaksanaan. Sedang orang yang melakukannya disebut filsuf yang berasal dari kata Yunani philosopos. Kedua kata itu sudah lama dipakai orang. Dari sejarah telah terungkap bahwa kata-kata itu sudah dipakai oleh filsuf Socrates dan Plato pada abad V sebelum Masehi. Seorang filsuf berarti seorang pencinta kebijaksanaan, berarti orang tersebut telah mencapai status adimanusiawi atau wicaksana. Orang yang wicaksana disebut juga sebagai jalma sulaksana, waskitha ngerti sadurunge winarah atau jalma limpat seprapat tamat.
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk mencapai hakikat kebenaran. Wayang sebagai pertunjukan merupakan ungkapan dan peragaan pengalaman religius yang merangkum bahwa wayang dan pewayangan mengandung filsafat yang dalam dan dapat memberi peluang untuk melakukan filsafati dan mistis sekaligus. Pada umumnya penggemar pewayangan beranggapan bahwa tidak ada kebenaran dan kesalahan yang mutlak. Sikap toleransi mereka terungkap dalam kata seloka yang cukup populer yaitu aja dumeh, jangan mentang­mentang dan aja nggugu benere dhewe, jangan menuruti kebenaran sendiri. Bila di Barat filsafat diartikan cinta kearifan, maka di Jawa berarti cinta kesempurnaan atau ngudi kawicaksa-nan atau kearifan, wisdom. Di Barat lebih ditekankan sebagai hasil renungan dengan rasio atau cipta-akal pikir-nalar dan berarti pengetahuan berbagai bidang yang dapat mem-beri petunjuk pelaksanaan sehari-hari. Di dalam kebudayaan Jawa, kesempurnaan berarti mengerti akan awal dan akhir hidup atau wikan Sangkan paran.
Kesempurnaan hidup manusia dihayati dengan seluruh totalitas cipta-rasa-karsa. Manusia sempurna telah menghayati dan mengerti awal akhir hidupnya. Orang sering menyebut mulih mula mulanira atau meninggal. Manusia telah kembali dan manunggal dengan penciptanya, manunggaling kawula Gusti. Manusia sempurna memiliki kawicaksanan dan kemampuan mengetahui peristiwa-peristiwa di luar jangkauan ruang dan waktu atau kawaskithan. Dalam pandangan filsafat universal, hakikat kebenaran semata-mata berorientasi pada aktifitas olah cipta. Sedangkan dalam filsafat Jawa, hakikat kebenaran lebih berorientasi kepada olah rasa, yaitu sari rasa jati - sarira sajati, sari rasa tunggal - sarira satunggal. Berpangkal tolak dari ketajaman spiritual tingkat tinggi ini, maka filsafat Jawa dapat mengantarkan seseorang menjadi pribadi adimanusiawi. Segala hal yang berkaitan dengan owah gingsiring jaman dipandang dalam perspektif batiniah yang bener-pener dan genep-genah.
Unsur-unsur ilmu filsafat yang terdiri dari logika - etika – estetika, dalam kawruh Kejawen, lebih populer dengan istilah cipta – rasa - karsa. Pagelaran wayang purwa yang merupakan lambang wewayanganing ngaurip, telah merangkum sinopsis ketiga unsur tersebut. Lakon Begawan Ciptoning merupakan simbol Raden Arjuna yang selalu mengutamakan daya cipta dan logikanya. Lakon Bima Suci merupakan simbol Raden Werkudara yang selalu mengutamakan daya karsa dan etikanya. Lakon Jamus Kalimasada merupakan simbol Prabu Puntadewa yang selalu mengutamakan daya rasa dan estetikanya.
Kebijaksanaan hidup yang dilandasi logika - etika - estetika, cipta - rasa - karsa, kebenaran - kebaikan – keindahan, dalam filsafat Jawa akan bersemayam dalam sanubari jalma pinilih, pethingane manungsa, pitatane dumadi. Manusia berjiwa agung, yang tidak kaget atas segala perubahan sosial, karena dirinya sudah pana pranaweng kapti, tan samar pamoring suksma, sinuksmaya winahya ing ngasepi. Hatinya selalu terang benderang. Pambukane warana, sinimpen telenging kalbu, tarlen saking liyep-layaping aluyup. Layar kesadarannya akan memantulkan aura kewibawaan. Itulah intisari ajaran filsafat Jawa.

B. Menggali Kearifan Tradisional
Penggalian kearifan tradisional dapat dikaji lewat perilaku kehidupan masyarakat di wilayah pedesaan. Denyut nadi kehidupan tradisional bisa terlihat dari betapa hiruk pikuknya masyarakat dalam bekerja dan berusaha untuk meraih nafkah rezeki. Pagi-pagi benar, sebelum ayam jantan berkokok, orang Jawa sudah bangun tidur. Menurut keyakinan mereka rejeki seseorang akan diambil oleh ayam bila bangun tidur kesiangan. Tugas sehari-hari sudah menunggu untuk diselesaikan sesuai dengan profesinya masing-masing. Para pedagang memulai paginya dengan harapan yang optimis. Para mbok-mbok bakul mempersiapkan dagangannya di pasar-pasar. Hasil bumi yang berupa beras, jagung, ketela, sayuran dan buah-buahan di gelar di pasar untuk dipertemukan kepada konsumen. Mereka berjalan menuju ke pasar dengan membawa barang-barang dagangan itu dengan cara dipikul, digendong dengan diterangi obor.
Kehidupan perekonomian desa berporos pada perdagangan tradisional. Perdagangan tradisional berlangsung pada hari pasaran, yakni Pon, Wage, Kliwon, Legi dan Pahing. Tawar-menawar antara pedagang dan pembeli boleh jadi sangat alot, sehingga merupakan suatu seni tersendiri dalam transaksi perdagangan. Sistem pedagang bakulan itu merupakan sokoguru perekonomian Jawa. Kegiatan pertanian di sawah digerakkan oleh Pak Tani. Kegiatan Pak Tani sudah dimulai dengan mengasah sabit dan membetulkan cangkul. Pak Tani berangkat ke sawah tanpa alas kaki dan siap mengolah lahannya. Antar pemilik sawah suka bekerja sama dengan tidak mengharapkan imbalan. Sambil macul mereka juga menyabit rumput untuk pakan ternak. Seolah-olah pakan ternak itu adalah oleh-oleh untuk raja kaya mereka yang menunggu di rumah. Para petani adalah pekerja yang ulet. Pekerjaannya yang dekat dengan tanah, air dan udara yang sangat segar membuat hidup menjadi tenang, tentram, seimbang, dan alami. Tidak jarang di antara petani itu suka rengeng-rengeng, berdendang tembang dan lagu daerah dengan santai. Orientasi mereka bukan hasil kuantitatif tetapi proses kualitatif. Sikap beringas, keras, cemburu dan iri sukar berkembang. Masing-masing pihak tahu diri dan sadar hak dan kewajibannya.
Bu Tani sebagai ibu rumah tangga sekaligus pendamping suami adalah perempuan yang tangguh. Bu Tani yang bertugas di rumah tak kalah sibuknya mengurus rumah tangga. Memasak, mencuci dan membereskan pekerjaan rumah tangga adalah kewajiban pokoknya. Pantangan bagi Bu Tani adalah bila genthong kosong dan kendhi tak berisi. Genthong dan kendhi merupakan simbol wadah rejeki. Kalau genthong kendhi hampa, akan ditafsirkan keluarga petani itu akan lamban dan lambat dalam memperoleh rejeki. Selain itu wadah yang kering juga membuat suasana panas yang memudahkan hari untuk marah. Prinsip Bu Tani terhadap kedudukan suami adalah suwarga nunut neraka katut, yaitu suami yang jaya akan sekaligus meningkatkan kejayaan istri. Sebaliknya suami yang jatuh, maka istri pun pasti juga merasakan kesengsaraan.
Anak-anak merupakan harapan masa depan keluarga. Adapun tugas anak-anak adalah mikul dhuwur mendhem jero nama baik kedua orang tuanya. Maksudnya si anak itu harus mau menjunjung tinggi harkat dan martabat ayah ibu. Orang Jawa mengatakan anak polah bapak kepradah. Artinya bahwa tingkah laku anak senantiasa membawa nama orang tua. Kebesaran orang tua bisa tercemar karena anaknya yang urakan dan melanggar peraturan. Pembagian kerja di wilayah pedusunan itu sudah berlaku turun-temurun. Konflik jarang terjadi karena masing-masing pihak sudah faham terhadap hak dan kewajibannya masing-masing.

C. Konsep Wa Pitu
Prabu Jayabaya adalah raja agung Kraton Kediri yang sudah misuwur sebagai narendra gung binathara, mbaudhendha nyakrawati, ambeg adil paramarta, memayu hayuning bawana. Beliau memang raja besar laksana Sang Hyang Wisnu yang angejawantah ing madyapada. Sikap hidupnya benar-benar bijak bestari. Kewibawaannya telah membuat ketentraman dan kemuliaan jagat raya, yang membuat kerajaan Kediri mencapai masa kejayaan dan keemasan.
Kerajaan Kediri mengalami masa keemasan ketika diperintah oleh Ingkang Sinuwun Prabu Jayabaya. Sukses gemilang Kraton kediri didukung oleh tampilnya cendekian terkemuka : Empu Sedah, Panuluh, Darmaja, Triguna dan Manoguna. Mereka adalah jaama sulaksana, manusia paripurna yang telah memperoleh derajat oboring jagad raya. Di bawah kepemimpinan Prabu Jayabaya, Kraton kediri mencapai puncak peradaban terbukti dengan lahirnya kakawin Baratayuda, Gathutkacasraya, dan Hariwangsa yang hingga kini merupakan warisan karya sastra bermutu tinggi.
Strategi Prabu Jayabaya dalam memakmurkan rakyatnya memang sangat mengagumkan. Kraton yang beribukota di Dahono Puro bawah kaki Gunung Kelud ini tanahnya amat subur, sehingga segala macam tanaman tumbuh menghijau. Pertanian dan perkebunan hasilnya berlimpah ruah. Di tengah kota membelah aliran sungai Brantas. Airnya bening dan banyak hidup aneka ragam ikan, sehingga makanan berprotein dan bergizi selalu tercukupi. Hasil bumi itu kemudian diangkut ke kota Jenggala, dekat Surabaya, dengan naik perahu menelusuri sungai. Roda perekonomian berjalan lancar sehingga kerajaan Kediri benar-benar dapat disebut sebagai negara yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem karta raharja.
Dalam bidang spiritual juga sangat maju. Tempat ibadah dibangun di mana-mana. Para guru kebatinan mendapat tempat yang terhormat. Bahkan Sang Prabu sendiri kerap melakukan tirakat, tapa brata dan semedi. Beliau suka bermeditasi di tengah hutan yang sepi. Laku prihatin dengan cegah dhahar lawan guling, mengurangi makan tidur. Hal ini menjadi aktifitas ritual sehari-hari. Tidak mengherankan apabila Prabu Jayabaya ngerti sadurunge winarah yang bisa meramal owah gingsire jaman. Ramalan itu sungguh relevan untuk membaca tanda-tanda jaman saat ini.
Selama Prabu Jayabaya memegang kendali pemerintahan dan tata praja, nusantara sungguh-sungguh diperhitungkan di kawasan Asia Tenggara, Asia Tengah dan Asia Selatan. Beliau berhasil mewujudkan negara yang gedhe obore, padhang jagade, dhuwur kukuse, adoh kuncarane, ampuh kawibawane. Masyarakat merasakan negara yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja. Konsep sapta wa atau Wa Pitu, dijadikan sebagai program utama yaitu : wastra (sandang), wareg (pangan), wisma (papan), wasis (pendidikan), waras (kesehatan), waskita (keruhanian) dan wicaksana (kebijaksanaan).
Dengan menengok perjalanan sejarah di atas, kita dapat bercermin untuk menata kehidupan masa kini dan masa yang akan datang. Pikiran-pikiran yang berkembang saat ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari kehidupan masa lampau. Dalam kehidupan orang Jawa kesempurnaan karier seseorang tercapai bila telah memperoleh curiga, garwa, turangga, wisma, wirya dan kukila.
1. Curiga
Curiga berarti senjata. Pengertiannya adalah seseorang yang sudah bisa mengatasi kebutuhan hidup secara mandiri, tidak tergantung pada orang lain. Dengan aktivitas yang bermanfaat akan mendatangkan reward atau pemasukan bagi dirinya sendiri.
2. Garwa
Garwa berarti teman hidup sebagai suami istri. Dalam jarwa dhosok garwa bermakna sigaraning nyawa atau belahan jiwa. Seseorang akan bertambah sempurna hidupnya manakala sudah ada pendamping hidup. Dengan menjalankan pernikahan berarti seseorang mulai hidup baru yang nantinya juga akan lahir generasi penerus sebagai pelanjut sejarahnya.
3. Turangga
Turangga berarti kuda. Dalam hidup sehari-hari, mobilitas seseorang dipengaruhi oleh fasilitas transportasi. Kini turangga bisa dimanifestasikan dalam wujud kendaraan yang cepat jalannya. Kendaraan yang memadai bisa meningkatkan produktifitas.
4. Wisma
Wisma berarti rumah. Pusat aneka ragam kegiatan seseorang memerlukan tempat yang memadai. Sebagai sentral aktivitas keluarga, rumah menempati posisi yang sangat penting. Di rumah pulalah seseorang menerima sanak kadang dan handai taulan. Dengan rumah sebagai tempat tinggal yang cukup representatif berarti pembinaan dan pendidikan anak dapat berlangsung dengan baik.
5. Wirya
Wirya berarti kekuasaan. Seseorang yang memiliki kekuasaan berarti mempunyai derajat yang lebih tinggi dari orang kebanyakan. Semakin tinggi pangkatnya akan semakin tinggi pula status sosialnya. Hal ini membuat dirinya diakui dan terpandang di hadapan masyarakat.
6. Kukila
Kukila berarti burung. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa suara burung yang berkicau mendatangkan ketentraman hati. Suara kicau burung juga melambangkan tertib kosmis. Orang memelihara burung mempunyai makna bahwa kehidupan dasarnya sudah terpenuhi. Dapat dikatakan bahwa burung termasuk kebutuhan sekunder yang bisa meningkatkan status seseorang.

D. Kepemimpinan Astabrata
Orang Jawa suka dengan referensi kepemimpinan menurut Lakon Wahyu Makutharama. Lakon ini menyuratkan kepemimpinan sosial yang terkenal dengan istilah astabrata, yang berarti delapan prinsip:
1. Laku Hambeging Kisma
Maknanya seorang pemimpin yang selalu berbelas kasih dengan siapa saja. Kisma artinya tanah. Tanah tidak mempedulikan siapa yang menginjaknya, semua dikasihani. Tanah selalu memperlihatkan jasanya. Walaupun dicangkul, diinjak, dipupuk, dibajak tetapi malah memberi subur dan menumbuhkan tanam-tanaman. Filsafat tanah adalah air tuba dibalas air susu. Keburukan dibalas kebaikan dan keluhuran.
2. Laku Hambeging Tirta
Maknanya seorang pemimpin harus adil seperti air yang selalu rata permukaannya. Keadilan yang ditegakkan bisa memberi kecerahan ibarat air yang membersihkan kotoran. Air tidak pernah emban oyot emban cindhe ‘pilih kasih’.
3. Laku Hambeging Dahana
Maknanya seorang pemimpin harus tegas seperti api yang sedang membakar. Namun pertimbangannya berdasarkan akal sehat yang bisa dipertanggung-jawabkan sehingga tidak membawa kerusakan di muka bumi.
4. Laku Hambeging Samirana
Maknanya seorang pemimpin harus berjiwa teliti di mana saja berada. Baik buruk rakyat harus diketahui oleh mata kepala sendiri, tanpa menggantungkan laporan dari bawahan saja. Bawahan cenderung selektif dalam memberi informasi untuk berusaha menyenangkan pimpinan.
5. Laku Hambeging Samodra
Maknanya seorang pemimpin harus mempunyai sifat pemaaf sebagaimana samudra raya yang siap menampung apa saja yang hanyut dari daratan. Jiwa samudra mencerminkan pendukung pluralisme dalam hidup bermasyarakat yang berkharakter majemuk.
6. Laku Hambeging Surya
Maknanya seorang pemimpin harus memberi inspirasi pada bawahannya ibarat matahari yang selalu menyinari bumi dan memberi energi pada setiap makhluk.
7. Laku Hambeging Candra
Maknanya seorang pemimpin harus memberi penerangan yang menyejukkan seperti bulan bersinar terang benderang namun tidak panas. Bahkan terang bulan tampak indah sekali. Orang desa menyebutnya purnama sidi.
8. Laku Hambeging Kartika
Maknanya seorang pemimpin harus tetap percaya diri meskipun dalam dirinya ada kekurangan. Ibarat bintang-bintang di angkasa, walaupun ia sangat kecil tapi dengan optimis memancarkan cahayanya, sebagai sumbangan buat kehidupan.
Ajaran astabrata memberikan kesadaran kosmis bahwa dunia dengan segala isinya mengandung pelajaran bagi manusia yang mau merenung dan menelitinya. Norma kepemimpinan Jawa dikenal dengan ungkapan sabda pandita ratu tan kena wola-wali. Maksudnya seorang pemimpin harus konsekuen untuk melaksanakan dan mewujudkan apa yang telah dikatakan. Masyarakat Jawa menyebutnya sebagai orang yang bersifat berbudi bawa laksana yaitu teguh berpegang pada janji.

1 komentar: