SEDINGKLIK ONGKLAK-ANGKLIK

Minggu, 16 Mei 2010

PUJAKESUMA DALAM KONTEKS SOSIOHISTORIS DAN KULTURAL



Makalah pengantar pada HUT PUJAKESUMA dan halal bihalal keluarga besar Pujakesuma Labuhan Batu, 1 Nopember 2008.



Oleh: Dr. Purwadi, M.Hum.


Dhandhanggula Pujakesuma

Pujakesuma ingkang winarni

Putra Jawi klahiran Sumatra

Tansah sengkut tandang gawe

Guyub rukun satuhu

Pak Kasim Siyo mandhegani

Ngayahi jejibahan

Darmaning ngaluhur

Labuh labet marang praja

Kang binudi mrih kuncaraning negari

Ngajayeng Nuswantara.

1. A. Perspektif Historis

Kerajaan Sriwijaya sebagai negara maritim sesungguhnya dibangun oleh Wangsa Syailendra dengan semangat Budhisme. Wangsa Syailendra telah mewariskan prestasi gemilang berupa Candi Borobudur, Mendut, dan Pawon di wilayah Dulangmas (Kedu-Magelang-Banyumas), Jawa Tengah. Di bawah kepemimpinan raja Samaratungga, Kraton Mataram Budha pada abad 8 mencapai jaman kencana rukmi, masa keemasan.
Raja Samaratungga mempunyai dua anak, yang bernama Balaputra Dewa dan Pramudha Wardhani. Dua-duanya memang bangsawan agung berdarah biru, trahing kusuma rembesing madu, wijining atapa, tedhaking andana warih. Pramudha Wardhani menikah dengan Rakai Pikatan yang membangun Candi Prambanan, Candi Sewu, dan Candi Rara Jonggrang. Rakai Pikatan adalah keturunan Wangsa Ratu Sanjaya yang yang berideologi Hinduisme: Kama-Arta-Dharma-Muksa (Kekuatan-Kebendaan-Kautamaan –Kesempurnan).

Balaputra Dewa diutus oleh ayahandanya untuk membangun kerajaan Sriwijaya yang beribukota di Palembang. Dari Tanah Jawa menuju Tanah Sumatra ini, Balaputra Dewa membawa rombongan teknokrat dan teknolog yang betul-betul mumpuni, sarjana sujana ing budi, kebak ilmu sipating kawruh, putus ing reh saniskara. Dalam bekerja mereka berprinsip sebagaimana ajaran Budhisme: kamadhatu-rupadhatu-arupadhatu-nirwanadhatu (ketekunan-kemuliaan-kerelaan-kesejatian), rame ing gawe sepi ing pamrih.

Boleh dikatakan bahwa Balaputra Dewa merupakan generasi Pujakesuma (Putra Jawa Keluyuran di Sumatra) yang sukses. Beliau menerapkan menejemen meritokrasi yang mengutamakan kapasitas dan kualitas. Kerajaan Sriwijaya mendapat julukan Kerajaan Nasional, yang menjadi pusat pendidikan di Asia Tenggara. Pemuda-pemuda dari Asia Timur, Asia Tengah, Asia Selatan, dan Afrika berbondong-bondong ke Palembang untuk menuntut ilmu.

Kemakmuran Sriwijaya berkat majunya bidang pelayaran, pelabuhan, perdagangan, dan pendidikan. Balaputra Dewa berhasil mewujudkan Kerajaan Sriwijaya sebagai negara kang gedhe obore, padhang jagade, dhuwur kukuse, adoh kuncarane, ampuh kaprabawane. Bebasan kang celak mangklung, kang tebih mentiyung. Semua negara bawahan sama pasok blandhong, pangareng-areng, peni-peni raja peni, mas picis raja brana. Rakyat hidup berkecukupan, murah sandang, pangan, papan, tentram lahir batin.

1. B. Ekspedisi Pamalayu

Pada tahun 1275 Kerajaan Sriwijaya mengirimkan pasukan perdamaian ke wilayah Sumatra. Prabu Kertanegara mengutus para pimpinan militer untuk melakukan latihan gabungan bersama tentara Kerajaan Tulang Bawang Lampung, Sriwijaya, Pagaruyung, Jambi, Riau, Aceh, Semenanjung Malaya, dan Samudra Pasai. Mereka gladhen olah gelaring prang, pacak baris, onclang gada siring pedhang, kridhaning jemparing, dan nebak beteng. Saat itu Prabu Kertanegara yang memerintah Kraton Singasari amat disegani karena berani menghukum pasukan Khu Bilai Khan dari Tartar, Cina.

Wadyabala Singasari yang menjadi instruktur militer itu sebagian menetap tinggal di Pulau Sumatra. Mereka menikah dengan putri setempat dan beranak pinak di sana. Ketrampilan orang Sumatra dalam bidang militer karena atas program pelatihan Prabu Kertanegara. Ekspedisi Pamalayu nantinya ditandai dengan putri boyongan dari Sumatra, yaitu Dara Petak dan Dara Jingga. Keduanya nanti menikah dengan Raden Wijaya sebagai permaisuri di Kraton Majapahit.

Ekspedisi Pamalayu dapat disebut pula sebagai bibit kawit Pujakesuma yang berlatar belakang birokrat, teknokrat dan militer. Perlu dicatat bahwa para Jenderal profesional yang disertakan dalam program Ekspedisi Pamalayu sebagian besar juga ahli dalam lagu-lagu yang memuat nilai perjuangan. Lagu-lagu kemiliteran membuat semangat prajurit berkobar-kobar. Contoh-contoh lagu militer misalnya Maesa Kurda, Bidhal Gumuruh, Balakuswa dan Singa Nebak.
Mahesa Kurda
Kalamun cinandra pan yayah mahesa kurda
Bendhe umyung tengara budhale wadya
Kang tinata carub wor dadi sajuga
Sang panganjur aba-aba nabuh tambur
Teteg ajeg suling peling nut wirama


Bidhal Gumuruh
Enjing bidhal gumuruh
tambur suling gung maguru ngungkung
binarung ing krapyak
myang watang agathik
kang kapyarsa swaranipun
lir ombaking samudra rob

Bala Kuswa

enjing bidhal gumuruh
saking jroning praja
gunging kang bala kuswa
aba busananira lir surya wedalira
saking jaladri arsa madangi jagad
duk mungup-mungup aneng
sakpucaking wukir
marbabak bang sumirat
keneng soroting surya
mega lan gunung-gunung
Singa Nebak

Sigra mangsah lumampah anut wirama
getar tambur bendhene munya angungkung
suling sesauran selompret tetep mindhiki


1. C. Bangsawan Majapahit menjadi Raja Minangkabau

Adityawarman Datuk Seri Maharaja Diraja (1301-1375) adalah jalma limpat seprapat tamat. Beliau seorang diplomat, pahlawan perang, pimpinan negara, dan politikus besar di abad ke-14. Turunan Melayu yang dibesarkan di Kraton Majapahit, kemudian memerintah di Minangkabau, Adityawarman, adalah raja pertama dan terbesar di Minangkabau.

Sebelum ia datang, masyarakat Minangkabau belum pernah mempunyai raja dan kehidupan hukum di daerah itu merupakan suatu federasi yang terdiri dari Lubak, Laras, negeri, dan suku. Tiap-tiapnya mempunyai organisasi pemerintahan sendiri. Suku diperintah oleh penghulu, Negeri diperintah oleh dewan penghulu-penghulu. Apabila di antara penghulu terjadi perselisihan, maka persoalan diselesaikan oleh Laras.

Dewan Laras terdiri dari semua penghulu yang ada di dalam Laras itu. Pimpinan tertinggi adalah Luhak. Luhak terdiri dari perutusan Laras-laras. Kekuasaannya terbatas pada tingkat perselisihan antara laras-laras. Hakim yang paling tinggi dinamakan ‘Basa empat balai’. Tugasnya menyelesaikan perkara-perkara yang tidak terselesaikan oleh Luhak. Basa empat balai itu adalah:

1. Tuanku Titah di Sungai Tarab
2. Indomo di Saruaso
3. Machudum di Sumanik
4. Tuan Gadang di Batipuh

Pada abad 14 sejarah Minangkabau dimulai dengan raja-raja. Datangnya Adityawarman dari Jawa diterima rakyat Minangkabau dengan baik karena Adityawarman juga berasal dari Melayu. Setelah Adityawarman wafat, kerajaan dipimpin oleh ahli warisnya. Pada abad 17 Kerajaan Minangkabau pecah karena perselisihan di antara keturunan raja. Akhirnya terjadi tiga kekuasaan di Minangkabau, yaitu Raja Adat berkedudukan di Buo, Raja Ibadat di Sumpur-Kudus, dan Raja Alam di Pagaruyung.

Menurut sejarah, sebelum Adityawarman, Minangkabau pernah dipimpin seorang raja yaitu keturunan Zulkarnain Iskandar. Tetapi kekuasaannya tidak langsung kepada rakyat. Raja hanya memegang kekuasaan tertinggi sedangkan susunan pemerintahan di tangan penghulu, laras, luhak, dan basa empat balai.

Sejarah juga mencatat bahwa kedudukan Adityawarman di Pagaruyung laksana raja yang berkuasa secara arif dan bijaksana, berbudi bawa leksana, ambek adil paramarta. Singgasananya dipagar dengan ruyung dan daerah kekuasaannya hanya sekitar kraton. Adityawarman bercita-cita mengembalikan kebesaran Kerajaan Sriwijaya dan memerintah seluruh Minangkabau hingga Malaka.

Asal-usul Adityawarman dilahirkan di Majapahit tahun 1301. Ibunya bernama Dara Jingga, garwa prameswari Raden Wijaya raja Majapahit, yang berasal dari Melayu. Ibunya mempunyai saudara yang bernama Dara Petak. Kedua orang tersebut dibawa ke Tanah Jawa oleh pasukan Singasari. Mereka sengaja diboyong ke Tanah Jawa atas perintah Raja Melayu, Mauliwarmadewa yang kayungyun pepoyaning kautaman terhadap keagungan Majapahit.

Kedatangan pasukan Singasari ke Melayu untuk menjalin persahabatan. Pasukan Singasari kembali ke Jawa pada tahun 1293 namun sesampainya di Jawa Kerajaan Singasari telah runtuh dan digantikan Kerajaan Majapahit. Dara Petak menikah dengan Raja Kertarajasa yang menjadi raja pertama di Majapahit. Dari pernikahan itu lahir seorang anak yang diberi nama Jayanegara yang kemudian menjadi raja Majapahit. Sedangkan Dara Jingga menikah dengan pembesar kerajaan dan mempunyai seorang anak yang bernama Adityawarman.

Ketika dewasa, Adityawarman bekerja sebagai pembesar kraton, nayaka praja pangembating negari. Sifatnya sungguh andhap asor, alus jatmika ing budi, baik, berani, bijaksana, dan mempunyai berbagai ketrampilan. Ketika Majapahit diperintah oleh Jayanegara, Adityawarman dipercaya sang raja dan diutus ke Tiongkok sebagai duta Majapahit. Setelah Jayanegara wafat dan digantikan oleh Bra Kahuripan, Adityawarman masih dipercaya menjadi utusan ke Tiongkok. Ia seorang ahli perang yang cerdas yang mendapat didikan langsung dari Gajah Mada. Ia juga seorang ahli politik dan ahli strategi perang. Kepandaian ini diperoleh dari menimba ilmu pada Aria Tadan, ahli ilmu tata negara.

Selama pemerintahan Jayanegara, sering terjadi pemberontakan rakyat. Adityawarman berperan besar dalam menumpas pemberontakan yang terjadi. Dari pengalamannya itu Adityawarman memperoleh pengetahuan militer. Pemberontakan yang terjadi antara lain, pemberontakan separatis Sora (1295), pemberontakan Lumajang (1316), pemberontakan Dharmaputra (1319), dan pemberontakan Sadeng (1331). Adityawarman dapat menumpas semua pemberontakan tersebut. Karena jasanya yang sangat besar terhadap Majapahit, ia dianugerahi gelar Sang Dewaraja.

Setelah Jayanegara wafat, penggantinya adalah Tribuwana Tunggadewi Jaya Wisnumurti. Pada saat itulah ia kembali ke tanah asalnya, Melayu. Di situlah Adityawarman mendirikan kerajaan baru di Minagkabau.

Kerajaan Minangkabau dimulai dengan keberangkatan angkatan laut Kerajaan Singasari yang bertolak dari Tuban menuju Muara Sungai Batang Hari pada tahun 1275. Maksud dari keberangkatan itu adalah mempererat persahabatan Kerajaan Melayu. Bukti dari peristiwa itu adalah adanya patung di Sungai Langsat yang terbuat dari batu yang merupakan simbol raja Sri Wisnuwardhana, ayah dari Kertanegara. Tetapi ada yang menyebutkan bahwa kedatangan pasukan Singasari adalah untuk menjalin hubungan diplomasi dengan Kerajaan Darmasraya (Jambi) yang saat itu diperintah oleh Demang Lebar Daun Sriwijaya.

Pada tahun 1270 Sriwijaya mendapat serangan dari Raja Kalamandola dari India. Pada saat itulah Singasari membantu Sriwijaya. Adityawarman pergi ke Melayu dan memindahkan pusat Kerajaan Melayu dari Darmasraya ke Batusangkar (Pagaruyung). Peristiwa boyongan itu menandai awal berdirinya Kerajaan Minangkabau. Adityawarman dinobatkan menjadi raja Minangkabau dan diberi gelar Datuk Sri Maharaja Diraja. Adityawarman dapat diterima sebagai raja oleh rakyat Minangkabau. Daerah kerajaan yang diperintah Adityawarman dikenal dengan nama Pagaruyung yang sebelumnya bernama Batang Bengkawas.

Ada beberapa tugu peringatan yang dibuat oleh Adityawarman, yaitu di Rambahan dan di Saruaso. Di daerah Pagaruyung ditemukan sebuah prasasti bernama Batu Bersurat yang tertulis tahun 1269 Saka atau 1347 Masehi. Berdasarkan prasasti tersebut, itulah awal mula berdirinya Kerajaan Minangkabau.

Tujuan Adityawarman mendirikan Kerajaan Minangkabau adalah sebagai daerah otonom Kerajaan Majapahit di Tanah Melayu. Susunan pemerintahannya diatur sesuai dengan aturan Majapahit, yaitu:

1. Sapta Prabu, suatu dewan terdiri dari 6 orang yang diketuai oleh raja.
2. Mantri Katrini, terdiri dari 3 orang sebagai Dewan Pertimbangan Agung.
3. Panca ring Wilwatikta, terdiri dari 5 orang.
4. Dharma Yaksa, terdiri dari kepala agama Budha dan agama Syiwa (Kementerian Agama).
5. Upa-patti, terdiri dari 7 orang yang mengurusi kebudayaan dan agama.

Dalam pemerintahannya di Pagaruyung, Adityawarman mencoba mengembangkan agama Budha Mahayana. Adityawarman wafat pada tahun 1375. Sepeninggal Adityawarman, riwayat Kerajaan Minangkabau dilanjutkan oleh keturunannya yang meneruskan pemerintahan kerajaan. Masyarakat Minangkabau melalui Adityawarman kini memang beruntung karena mewarisi tradisi kenegarawanan Pujakesuma.

1. D. Raden Patah Kelahiran Palembang menjadi Sultan Demak

Salah satu Pujakesuma yang berhasil menjadi penguasa di kasultanan Demak Bintara adalah Raden Patah. Dari sisi genalogis, ia merupakan putra raja Majapahit, Sinuwun Prabu Brawijaya V, seorang narendra gung binathara, mbaudhendha nyakrawati.

Tersebut dalam sejarah putri Cina yang sulistya ing warna ditrimakke kepada Arya Damar. Kandunganya lahir pria, putra keturunan Brawijaya ini diberi julukan Raden Patah. Dari Arya Damar juga lahir seorang pria namanya Raden Husein. Setelah para putra raja sudah dewasa Arya Damar ingin meletakkan jabatannya, lengser keprabon madeg pandhita. Tujuannya untuk bermukim di pegunungan menjadi Hajar. Raden Patah akan dijadikan raja di Palembang, dengan mahapatihnya Raden Husein. Tetapi Raden Patah punya rencana sendiri, karena merasa belum mampu dan tidak dianggap nggege mangsa.

Pada suatu malam Raden Patah berusaha ngulandara jengkar dari kraton Palembang; dan tibalah dia di luar pagar istana. Ia menempuh jalan kaki sepanjang lorong dan jalan di hutan-hutan Sumatra Selatan, tanpa tujuan. Ahirnya tibalah Raden Patah di sebuah telaga yang airnya jernih. Dia berhenti sejenak melepaskan lelahnya sambil minum air telaga.

Di kraton Palembang, setelah fajar tiba Husein melihat kakaknya tidak ada di tempat, tanpa pamit pada orang tuanya terus saja lari ke luar mencari Raden Patah. Ditembusnya malam gelap, dan dijelajahinya hutan lebat, mideringrat angelangut, lelana njajah negari, anelasak wanawasa. Tapi tak menemukan. Setelah dia tiba di suatu telaga dilihatnya kakaknya sedang duduk di pinggir telaga. Husein segera melapor bahwa ramanda sangat marah. Karena itu dia pun terpaksa lolos dari kraton ayahnya. Akhirnya kedua teruna ini bersepakat hendak menyeberang ke pulau Jawa, ingin meng­abdi kepada Kanjeng Sinuwun Prabu Brawijaya di Majapahit. Dua kakak beradik itu akan meneruskan lakunya hendak menyeberang ke Jawa. Tiba-tiba di tengah jalan datang dua orang kecu gegedug bernama Supala-Supali. Terjadi perkelahian, dan dua begal tadi akhirnya kalah, dan mereka disuruh pulang.

Kedua putra raja segera melanjutkan perjalanannya, yang kini mereka terpaksa harus menyeberangi samodra. Jalan satu-satunya adalah mencari nakoda atau niagawan yang melewati lautan itu yang bisa ditumpangi. Tercapailah apa yang diharapkan, mereka berdua menemukan sebuah gunung yang menjulur ke di tempat itu mereka berhenti di Gunung Resamuka, mereka melakukan tapabrata selama dua bulan. Akhirnya ter­acapi apa yang dicita-citakan, sebuah perahu layar berlalu dan singgah di tempat itu. Nakoda kapal menyetujui mereka ikut sebagai penumpang. Kapal itu berhenti di Surabaya, dan dua pemuda itu turun. Kemudian langsung menuju ke Ampeldenta. Di sana mereka berguru kepada Kanjeng Sunan Ampel, dan masuk agama Islam.

Kini Raden Patah balik pendirian tidak lagi ingin mengabdi pada Majapahit. Raden Husein suatu hari menemui kakaknya dan mengatakan niatnya hendak mengabdikan diri ke Majapahit. Sang kakak menjawab mengingat dirinya sudah masuk ke dalam Islam, tak lagi berniat mengabdi pada raja kafir. Adik Raden Patah dari satu ibu ternyata mempunyai perrdirian lain. Dia ingin tetap meneruskan maksudnya mengabdikan diri ke kerajaan Majapahit. Lamarannya segera diterirna oleh majapahit. Raden Husein diberi kedudukan sebagai Adipati Terung.

Adapun Raden Patah yang sudah berniat menetap di Ampeldenta, mendapat anugerah agung ia diangkat menjadi menantu Nyai Ageng Maloka, dinikahkan dengan anaknya yang sulung. Nyai Ageng Maloka adalah cucu dari Kanjeng Sunan Ampel. Sejak itu Raden Patah senantiasa tekun berguru ilmu agama. Raden Patah meminta petunjuk kepada Stlnan bagairnanakah jalannya supaya bisa hidup tentram untuk bermukim.

Kanjeng Sunan Ampel dengan memberi­ petunjuk bahwa Raden Patah harus berjalan lurus ke barat hingga di suatu tempat mencium bau gelagah (rumput hutan) yang harum, berhentilah dan jadikan tempat itu untuk pemukiman karena di sana kelak akan menjadi negeri yang subur makmur, Raden Patah lalu berjalan lurus menurut petunjuk sunan, sampai tiba di suatu hutan lebat, di tengah hutan itu terdapat, gelagah yang harum baunya, inilah yang bernama hutan Bintara.

Segera saja Raden Patah mulai membabat hutan, dan sebentar kemudian hutan Bintara menjadi pusat pemukiman. Banyak pen­datang turut pindah ke daerah baru. Para pendatang selain membuat rumah tinggal masing-masing, mereka beramai-ramai mendirikan mesjid tempat mereka beribadah. Semakin banyak orang datang semakin bertambah pula orang yang bergabung bersama Raden Patah. Atas restu Prabu Brawijaya, setelah Majapahit turun dari panggung sejarah, kraton dipindahkan ke Demak dan sultan Bintoro, yakni Raden Patah menjadi raja dengan gelar Sultan Syah Alam Akbar Al Fatah.
Semasa Raden Patah menjadi raja di Kasultanan Demak Bintara, Wali Sanga dijadikan sebagai dewan pertimbangan agung kerajaan. Demi menjaga keharmonisan dalam bidang politik dan diplomasi, Raden Patah pernah mengutus Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Derajat untuk menjadi Mahaguru di Kerajaan Samudra Pasai.


1. E. Pengikut Diponegoro di Sumatra

Pangeran Diponegoro adalah Pahlawan Nasional yang telah berjuang melawan penjajah. Demi menegakkan kebenaran dan keadilan, Pangeran Diponegoro rela mengorbankan jiwa dan raganya. Sejak masa muda sampai dewasa, kehidupan beliau dipersembahkan kepada bangsa dan negaranya. Perjuangan Pangeran Diponegoro didukung oleh segenap lapisan masyarakat, terutama wong cilik baik di perkotaan, pedesaan maupun pegunungan.

Para pemuka agama dan alim ulama aktif mendampingi perjuangan Pangeran Diponegoro. Mereka memberi nasehat, motivasi dan rancangan strategi perang. Tokoh-tokoh pribumi dan para bangsawan ikut cancut taliwanda dengan menyumbangkan harta benda dan pikirannya. Sementara itu, para kawula alit di karang padesan tak mau ketinggalan. Mereka mau gugur-gunung gotong-royong, saiyeg saeka praya labuh kanggo mulyaning negara. Semua bersatu padu membuat barisan lasykar rakyat untuk mengusir penjajah. Rawe-rawe rantas malang-malang putung, berani mati demi ibu pertiwi.

Dengan tidak disangka-sangka musuh sedikit jua, maka de­ngan kelekasan seperti kilat, sampailah Kanjeng Pangeran Diponegoro tanggal 6 Agus­tus ke dekat Nyamplung dekat Kalasan dengan menyeberangi Kali Opak, dan kemudian membelok kesebelah Utara. Beliau masuklah ke rananggana sebelah Timur Yogyakarta, dan menempatkan diri antara negeri itu dengan kota Solo, tempat Markas Besar Be­landa. Di medan itulah beliau berjuang siang-malam beberapa bulan lamanya, Medan itu baru ditinggalkannya pada tanggal 17 November 1826.

Di mana beliau”datang, maka rakyatpun bersusun-susun mengi­kutnya, tetapi tidaklah karena hendak bersorak-sorak atau ingin melihat beliau saja, melainkan siap dengan senjata dan tombak menyerahkan nyawa, supaya diizinkan ikut bandayuda membedah musuh. Oleh sebab ini maka Markas Besar Belanda menjadi kalang­kabut di kota Solo, dan tlatah Kedu dan Yogya lalu terpisah daripada pusat-pimpinannya.

Perpindahan dan perjalanan ke Timur ini bukanlah suatu arak­arakan dengan bergembira hati, melainkan bergerak dengan penuh semangat, sedia mati dan sedia hidup bersama-sama dengan pemim­pin yang paling di depan, mau berkorban untuk kesenangan bersama dan untuk mencapai cita-cita lepas daripada tindasan dan hidup sewenang-wenang. Di mana musuh bertemu, dan di mana lawan berani melihatkan muka, disitu barisan Kanjeng Pangeran Diponegoro menumpahkan darah, dan mendapat kemenangan setelah berjuang.

Dalam bulan Agustus dan September 1826, maka Kanjeng Pangeran Diponegoro terus-menerus mendapat kemenangan. Pasukan Sellewijn habis di­cincang semuanya dalam pertempuran di Kejiwan, dan pada 28 Agustus maka kemenangan itu bertambah pula dengan kemegahan yang dipetik di Delanggu. Kekalahan musuh tidak dapat disembunyikan lagi. Kabar-kabar itu memberi pengaruh kepada angkatan perang Belanda dan kepada Pemerin­tah, oleh sebab itu musuh mencoba menyusun diri kembali, dengan merancang kan beberapa perubahan. Sultan Sepuh akan diangkat kembali menjadi Sultan sebagai ganti Raja yang masih muda-remaja, dan pertahanan benteng Dekso ditinggalkan, sedangkan Klaten diperkuat. Tetapi juga usaha ini tidak memberi hasil yang menyenangkan. Berulang-ulang musuh mendapat pukulan hebat dari serangan angkatan perang Diponegoro.

Pada tanggal 4 Agustus 1826 maka bertempurlah kedua-belah angkatan perang dinegeri Bantul, di sebelah Barat-daya kota Yogyakarta. Da­lam pertempuran itu maka Kanjeng Pangeran Diponegoro mengepalai angkatan perang berkuda, dan mendapat kemenangan dengan menghancur-luluhkan musuh di bawah pimpinan mayor Le Bron dan Jendral Van Geen. Kekalahan ini meremukkan semangat musuh. Lima hari sesudah itu, tanggal 9 Agustus 1826, maka sekali lagi angkatan perang Belanda di ba­wah pimpinan Sellewijn mendapat pukulan hebat, sehingga cerai­ berai atau mati musnah. Peperangan ini terjadi di $ejiwan, dekat Kalasan. Oleh kekalahan yang berturut-turut ini, maka tembuslah garis peperangan, yang menghambat Kanjeng Pangeran Diponegoro bergerak kesebelah Timur Yogyakarta, sehingga sekarang terbukalah pintu ke Surakarta dan seluruh tlatah Selatan di kaki Gunung Merapi.

Juga peperangan di Delanggu (28 Agustus) dan Kalitan (5 Sep­tember 1826), maka pahlawan Kanjeng Pangeran Diponegoro dapat memecahkan kekuasaan musuh, sehingga naiklah bintang kemenangan dilangit kemegahan yang menutupi tentara rakyat yang beribu-ribu ikut bandayuda menghancurkan musuh atas keyakinan bersama. Sesudah kemenangan di Delanggu, maka Kanjeng Pangeran Diponegoro bersama­-sama dengan Senthot dan Kyai Mojo dan pahlawan-pahlawan lain pulang berkuda menuju Rejasa di pinggir kali Progo, tempat garwanya bersembunyi di bawah perlindungan pamanda Mangkubumi.

Kuda mereka sangatlah kencang berlari, sehingga aturan tiga hari dapat dipendekkan menjadi satu hari saja. Selain daripada pulang ke rumah, adalah pula maksud yang lain. Sebelum berjuang di kaki Gunung Merapi, Kanjeng Pangeran Diponegoro berjanji di Rejasa akan mencukur rambutnya menjadi gundul, apabila mendapat kemenangan dalam perjuangan. Setelah sembahyang Jum’at, maka Kanjeng Pangeran Diponegoro, Senapati dan kawula dasih yang setia menggunduli kepalanya, sebagai memenuhi nazar yang telah di­buatnya. Mencukur rambut sesudah mendapat kemenangan adalah adat bagi pahlawan peperangan yang bernazar, seperti dilakukan juga oleh pahlawan Aru Palakka di atas Gunung Cempalagi di Pulau Sulawesi. Semenjak itu maka prajurit Kanjeng Pangeran Diponegoro me­makai rambut pendek.

Setelah beberapa minggu lamanya, maka Kanjeng Pangeran Diponegoro kembali ke medan perang, kawula dasih dan Kyai Mojo selalu mendesak supaya Surakarta diserang. Akhirnya beliau menerima desakan itu. Dalam bulan Oktober maka angkatan perang Diponegoro dengan Sunan, Mangkunegaran dan Belanda telah berhadapan di tengah-tengah me­dan perang beberapa kilometer di sebelah Barat-daja kota Surakarta. Setelah mendapat kemenangan di Sukareja, maka kota Surakarta hampir akan jatuh, sedangkan seluruh isi kraton dan penduduk kota telah gelisah mencari perlindungan. Atas desakan Kyai Mojo maka serangan menuju Solo akan diteruskan, tetapi Kanjeng Pangeran Diponegoro merasa bimbang dalam hatinya, karena hendak bandayuda dengan kraton yang satu asal dengan beliau sendiri.

Kebimbangan hati yang dirasa beliau, juga dirasa oleh garwanya di Rejasa dan ditakdirkan Gusti Allah memberi akibat yang sesuai pula dengan perasaan itu. Desa Gawok letaknya dekat Kertasura, sekitar 6 km di sebelah barat-daja Surakarta. Pada tanggal 15 Oktober kota ini telah men­dapat ancaman dari dua pihak, yang dikepalai oleh Kanjeng Pangeran Diponegoro sendiri.

Pada tanggal itu di Kertasura bersedia pasukan Cokhius dan dari Yogyakarta datang pasukan Jendral Van Geen, yang ditemui pula oleh pasukan yang dipimpin Susuhunan sendiri. Pada waktu itu angkatan perang Diponegoro bersedia di Gawok, dekat kota Surakarta.

Angkatan perang Susuhunan, Natakusuma bersama-sama dengan angkatan perang Belanda bergerak menuju tempat itu, residen Solo dan bebe­rapa orang pangeran juga ikut. Kemudian pertempuran terjadi. Dalam pertempuran ini Kanjeng Pangeran Diponegoro mendapat luka atas tiga tempat, yaitu: di kaki kiri di bawah tumit, didada sebelah kiri, dan ditangan kanan. Oleh sebab penuh semangat, Kanjeng Pangeran Diponegoro mula-mulanya tidak merasa pedih, walaupun sudah berlumuran dengan darah. Pimpinan peperangan terpaksa diserahkan kepada Pangeran Bei. Keadaan di atas telah didahului oleh nasihat Kyai Mojo yang berlawanan dengan dasar keraman dan jihad, karena keraman cuma ditujukan kepada angkatan perang Belanda dan tidak kepada bangsa sendiri. Tetapi Kyai Mojo menjuruh juga membedah kraton yang menjadi tempat kediaman keluarga Kanjeng Pangeran Diponegoro.

Sebelum ini kebimbangan memang ada dalam hati Kanjeng Pangeran Diponegoro, karena sesudah ia mendapat kemenangan pada pemberontakan di­tempat lain, beliau pulanglah kepada garwanya bersama-sama dengan anggota-anggota Markas Besar ke Rejasa di Kidul, seperti telah diterangkan diatas. Sebelum berangkat kembali, beliau meminta ijin kepada garwanya akan bandayuda terus, tetapi hati garwanya sedikit turun-naik mendengar perkataan itu. Kanjeng Pangeran Diponegoro bertanya, “Saja berangkat atau tidak?” Tetapi garwanya adalah seorang ister berhati perajurit, dan seorang perajurit tidak boleh mundur dan mesti terus berperang.

Maka jawab garwanya, “Di bawah perajurit sudah menanti, teruslah berperang!” Tetapi dalam hati Kanjeng Pangeran Diponegoro sendiri masuk­lah kebimbangan sebelum menuju ke rananggana itu. Setelah sampai di rananggana Gawok, maka Kanjeng Pangeran Diponegoro turunlah dari turangganya menghadapi musuh dan terus berjalan kaki. Peperangan belum habis karena dihujani oleh peluru meriam dan bedil. Kanjeng Pangeran Diponegoro mendapat luka waktu menyeberangi suatu jalan besar. Karena mendapat luka ini kawan-kawannya melihat jubah ­birunya telah merah, dengan segera beliau dinaikkan ke atas turangganya dan kuda ini mengerti betul ke mana Kanjeng Pangeran Diponegoro mesti dibawa. Kanjeng Pangeran Diponegoro di waktu itu merasa kecewa dalam hati, dan kekecewaan ini memasgulkan pahlawan. Terutama, karena terpaksa meninggalkan rananggana. Beliau dinaikkan ke atas punggung turangganya Kyai Wijaya Capa. Setelah sampai ke kaki Gunung Merapi, maka kawula dasih membawa Kanjeng Pangeran Diponegoro ke atas lereng gunung di dalam tandu. di atas gunung itulah beliau berobat, diobati oleh kawula dasih yang mencintainya dengan segala kehormatan.

Adapun Kanjeng Pangeran Diponegoro selama hidupnya mendapat luka beberapa kali. Waktu beliau membantu bapanya melawan Inggeris, maka ba­dannya ditusuk sangkur bajonet, dan lukanya itu sembuh. Kini dia ditembus peluru musuh pada kaki, dada kiri dan tangan kanan. Be­liau seolah-olah tidak merasa, karena penuh dengan semangat perjuangan. Tetapi orang melihat darah mengalir dari badannya, sehingga bajunya berlumur dengan darah. Kabarnya waktu kuda Wijaya Capa melarikan beliau, maka beliau menutup mukanya de­ngan kain setangan, karena sedih memikirkan perjuangan yang ditinggalkannya dan sedih melihat Rakyat, yang tercengang, bahwa seorang pahlawan satria berbalik dari medan perang, setelah besi perisai didadanya dapat ditembus oleh peluru timah.

Menurut kepercayaan orang dahulu, dan menurut keyakinan isteri beliau, maka seorang pahlawan selalu kebal dalam perjuangan, dan hanya dapat dilukai, apabila hati belum sempurna bersih. Dan kepada garwanya dan kepada Rakyat, pahlawan Kanjeng Pangeran Diponegoro tidak mungkir, melainkan dengan segala keikhlasan beliau mengaku, bahwa sesungguhnya beliau belum lepas daripada kesalahan dan kekhilafan. Pahlawan, seperti keyakinan bangsa Junani purbakala, pahlawan baru kelihatan kebesarannya setelah tewas atau jatuh. Demikian juga dengan Kanjeng Pangeran Diponegoro: Beliau ternyata seorang pahlawan-jan­tan, setelah mengakui kesalahan batin, sesudah luka berlumur darah, karena disiksa musuh. Ternyatalah kini, bahwa Kanjeng Pangeran Diponegoro itu tidaklah saja mempunyai kawaskithan untuk berjuang guna melepaskan hati yang suci, tetapi juga suka akan kata yang benar. Tiga bulan lamanya beliau dirawat dalam gua di kaki Gunung Merapi oleh rakyat. Tetapi kemasgulan dan kedukaan Kanjeng Pangeran Diponegoro dalam peperangan Gawok itu tidaklah memundurkan beliau dari cita-cita peperangan.

Hati bertambah berpadu, dan kemauan lalu berlipat-ganda. Se­sudah beristirahat dan tetirah, maka tumbuhlah kekuatan pahlawan yang “maha-dahsyat, kekuatan itu tercurah di atas medan perang bagian kedua. Diperhubungkan oleh keadaan dan perasaan yang sama, maka berhasillah utusan-utusan Kanjeng Pangeran Diponegoro menggerakkan kawula dasih di tlatah-tlatah lain. Garuda pemberontakan terbang mengembangkannya kesegenap pihak: Demak, Pekalongan, Banten, Banyumas, Ledok, Kedu, tlatah Mancanegara dan ke Jawa-Timur. Unggun api peperangan bersinar diudara, menjinarkan cahaja yang menyala­ nyala. Marilah diturutkan penerbangan sajap garuda pepera­ngan itu.

Api peperangan yang menyala di Tegalrejo dan di Selarong dengan segera menjalar kesebelah Barat, sehingga kawula dasih Kedu mengambil putusan hendak ikut mengangkat senjata dengan me­mihak kepada gerakan Kanjeng Pangeran Diponegoro. Dari Markas Besar telah dikirim­kan beberapa pucuk surat atau beberapa orang utusan ke tanah Kedu dengan berita, bahwa angkatan perang Diponegoro juga akan masuk ke sana untuk mengusir musuh dan hendak menegakkan agama dan adat yang betul. Juga kawula dasih di sekeliling Purbolinggo dengan pen­duduk 35000 orang jiwa ikut memberontak. Akibatnya tlatah Kedu dan Banyumas menjadi tlatah peperangan.

Adapun Gelar Perang Diponegoro di tlatah Barat itu semata­mata hendak menghancur-leburkan musuh dan merebut Magelang dan Parakan, yang memperhubungkan tlatah Banyumas, Yogyakarta dan Kedu dengan tlatah Semarang. Dan angkatan perang Belanda berpusat di Magelang, dan dari sana dila­kukan gerakan kedesa-desa di dataran Kedu, dan kota itu berhubu­gan rapat dengan Parakan dan Bawen, yang menjadi simpang tiga menuju ke Selatan, Semarang dan Solo-Salatiga. Selain dengan mempercayai kekuatan sendiri, angkatan perang Belanda mendapat bantuan dari orang Cina bersenjata, perajurit Jayang -Sekar, dan pegawai-pegawai yang setia, seperti: Danuningrat, bupati Ma­gelang, Aria Sumadilaga, bupati Menoreh, Mangunsentika, Wira Juda dan Demang Mertadiwira.

Pada tanggal 27 Juli 1825 kawula dasih telah sampai ke kaki gunung Tidar hendak mengepung kota Magelang, yang telah dikelilingi lau­tan api. Serangan tidak berhasil. Dengan segera pemberontakan berpindah pusatnya ke tlatah Menoreh, sedangkan angkatan perang Belanda memperkuat kedudukannya di Parakan dan tlatah Ledok, yang waktu itu sedang memberontak di bawah pimpinan seorang putra Mang­kubumi. Walaupun angkatan perang Belanda mendapat tambahan dari Solo, Semarang dan Banyumas, tetapi kawula dasih pada penghabisan bulan Agustus 1825 dapat menguasai Cempaka, Telakap, Parakan dan Propak, yang dibersihkan daripada segala orang Belanda. Bupati Menoreh Aria Sumadilaga dibunuh, dan karena dalam pelariannya menuju Magelang, angkatan perang Belanda mendapat bantuan dari bekas Demang Martapati, lalu pensiunnya atas usul Jendral De Kock dinaikkan sampai dua kali lipat.

Kemudian diusahakan lagi merebut kota Magelang. Pada tang­gal 31 Agustus 1825 kawula dasih berbaris memikul bedil, datang dari Sadegan ditepi kali Progo di bawah pimpinan Pangeran Abubakar dan Adikusuma, dan yang lain datang menyerbu dari pihak Utara. Setelah berjuang dengan hebatnya, maka kawula dasih menarik diri.

Pada penghabisan tahun 1825 maka disangka orang seluruh Kedu telah damai dan angkatan perangm, tetapi persangkaan itu tidak benar. Di mana-mana api pemberontakan menyala dalam rumah tangga. Semangat gerilya hidup didataran dan dipergunungan. Dalam peng­habisan bulan September, kawula dasih mengamuk dan memeras darah musuh dengan hebatnya. Dalam perkelahian di Sadegan dan Pucang beberapa orang opsir Belanda ditewaskan, bupati Danureja dibu­nuh ketika membantu Belanda di’ Kedu Selatan.

Melihat kegoncangan kawula dasih di mana-mana itu, maka Jendral De Kock mendirikan benteng pertahanan dibeberapa tempat, yaitu di: Kali Jengking, Magelang, Borobudur, dan Tempel. Maksudnya benteng ini untuk menenteramkan kawula dasih dan untuk menjaga, supaya perhubungan antara Magelang, Semarang dan Yogyakarta jangan terganggu. Sementara itu musim hujan habislah, dan pepe­rangan sudah sampai kebulan Maret 1826. Beberapa bulan lamanya dataran Kedu menjadi sepi, api peperangan sedang menyala didata­ran Yogyakarta. Di sana matahari Kanjeng Pangeran Diponegoro sedang naik. Tetapi pada penghabisan tahun 1826 terjadi suatu prastawa yang menye­dihkan. Tanggal i Desember maka Pangeran Mangkudiningrat (Mangkuwijaya) menyerah di Plendigan kepada musuh. Pangeran itu ialah cucu Sultp Sepuh, dan Kanjeng Ramanya meninggal di Ambon, waktu mengikuti Sultan Sepuh dalam buangan.

Penyerahan memberi akibat yang sangat baik sekali kepada Pangeran itu, baik tentang harta, pangkat ataupun gelar. Bujukan ini memutar haluan sen­jatanya, sehingga semenjak itu ditujukan kepada Kanjeng Pangeran Diponegoro. Kanjeng Pangeran Diponegoro sangat marah mengalami keadaan itu, apalagi karena hal itu terjadi sesudah Kertanegara meninggal pula. Sejak itu pembalasan dilakukan, sehingga berlangsunglah perjuangan di Gu­nung Tawang sampai kepada hari tahun baru. Tetapi sesudah itu terjadi lagi bencana-perang. Dua orang saudara Mangkuningrat bernama Pangeran Surja Mataram dan Perang Wedana menyerah lagi (19 Januari 1827). Semenjak itu, sampai kepada tahun 1830 tanah Kedu menjadi tlatah perang, yang dikuasai oleh Kanjeng Pangeran Diponegoro sendiri.

Desakan pemberontakan di tlatah Banyumas, Pekalongan, Ledok dan Jabanrangkah meringankan tekanan angkatan perang Belanda di tlatah Yogya. Selain itu kekuasaan pemerintah penjajah Belanda de­ngan tangan-tangannya menjadi patah di tlatah, setelah lalu-lintas terganggu, maka kedudukannya makin bertambah lemah dan rapuh.

Mula-mulanya maka tlatah Pekalongan dan Tegal terancam sehingga rusaklah perhubungan antara Cirebon dan Semarang, ke­mudian Ledok dapat dikuasai Rakyat. Di sana gerakan dipimpin oleh Imam Musba dan Mas Lurah. Tetapi angkatan perang Belanda dapat ban­tuan dari Semarang, Bogor dan Magelang. Orang Cina dan anak-negeri dipaksa menjadi serdadu. Oleh tindakan-tindakan ini maka angkatan perang Belanda mendapat kemajuan, sehingga tekanan di Mataram bertambah hebat.

Pemberontakan di tlatah tersebut bermula sejak tengah tahun 1826 dan pada permulaan tahun 1827 kawula dasih sudah boleh dikatakan meletakkan senjatanya kembali. Sudah sejak dari mulanya tlatah Semarang memihak kepada Kanjeng Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi. Seorang daripada pemimpinnya yaitu Pangeran Serang, bupati tlatah Serang di Sukawati.

Adapun Pangeran Serang itu ialah ipar Mangkudiningrat dan mantu Sultan Sepuh. Oleh perkawinan ini Pangeran terbawa menjadi anggota golongan Kesepuhan dan memang rapat sekali per­hubungannya dengan Kanjeng Pangeran Diponegoro. Selain itu Pangeran Serang itu turunan Sunan Kalijogo, sehingga dalam kalangan kawula dasih Demak dia mendapat kedudukan yang istimewa.

Dari Pangeran Natapraja, yang datang dari Yogya sebagai utusan Kanjeng Pangeran Diponegoro, dia mendapat keterangan tentang tujuan dan maksud peperangan, sehingga dalam waktu yang singkat sekali maka bersiaplah kawula dasih di tlatah Semarang hendak menyerang. Bupati Gagatan ikut pula membantu. Pada tanggal 28 Agustus 1826, maka jatuhlah Purwodadi ke dalam tangan kekuasaan Pangeran Serang. Desakan pemberontakan menjalar sampai ke Kudus, Demak, Wiro­sari, Grobogan dan Semarang. Dan di mana-mana kawula dasih berteriak, “Panembahan Purbaya Sabilullah (Kepala perang sabil)”, maksud­nya yaitu tunduk kepada Kanjeng Pangeran Diponegoro.

Sementara itu kota Semarang sudah mati ketakutan. Angkatan perang Belanda mendapat bantuan dari segenap pihak: Surabaya, Solo dan Sumenep. Yang mengepalai pasukan di Semarang yaitu Jendral Van Geen. Perjalanan peperangan turun-naik. Pasukan Belanda yang menuju Demak, dapat dihancurkan. Tetapi setelah beberapa hari lamanya bupati Gagatan ditangkap dan ditahan di Surakarta. Ke­menangan Pangeran Serang menggugupkan Belanda di mana-mana. Bekas Bupati Semarang Kyai Adipati Suraadimenggala ditangkap, oleh sebab putranya Raden Sukur memihak pada Kanjeng Pangeran Diponegoro.

Pada tanggal 15 September terjadi pertempuran sengit di sekeliling kota Demak. Jendral Van Geen berhadapan dengan Pangeran Serang, yang tidak berhasil merebut kota itu. Sesudah itu Bupati Serang menghilangkan diri, dan musuh mengejarnya ke mana-mana. Rumah dan pendoponya habis dibakar. Dan dalam pengembaraan, maka kesudahannya Pangeran Serang dapat memperhubungkan diri dan bekerja bersama-sama dengan Kertadirja, kepala peperangan di tlatah Madiun. Sesudah itu keadaan damai seolah-olah kembali ke tlatah Sema­rang. Di sini hidup api di bawah sekam, tetapi ditempat lain kelihatan cahaja merah, tanda peperangan masih diperjuangkan di tlatah lain.

Setelah Pangeran Diponegoro ditawan pada tahun 1930, banyak pengikutnya yang tetap terus melakukan perlawanan terhadap Belanda. Sebagian dari mereka merubah strategi perjuangan dengan melakukan penyebaran lokasi. Para pemimpinnya ada yang mengorganisir perjuangan di pulau Sumatra. Salah satu komunitas yang menjadi pengikutnya bermukim di Bengkulu, Palembang, Lampung, Padang, Jambi, Riau dan Medan di bawah kepemimpinan Senthot Ali Basyah Prawiradirjo, senopati perang dan tangan kanan Pangeran Diponegoro.

1. F. Pujakesuma Masa Kini

Ngelmu iku kalakone kanthi laku,
lekase lawan kas,
tegese kas nyantosani,
setya budya pangekese dur angkara.
Angkara gung neng angga anggung gumulung,
gegolonganira,
triloka lekere kongsi,
yen den umbar ambabar dadi rubeda.
Basa ngelmu mupakate lan panemu,
pasahe lan tapa,
yen satriya tanah Jawi,
kuna kuna kang ginilut tripakara.
Lila lamun kelangan nora gegetun,
trima yen ketaman,
sakserik sameng dumadi,
tri legawa nalangsa srah ing Bathara.

Kutipan dari Serat Wedhatama di atas adalah ciptaan KGPAA Mangkubumi IV. Ajaran ini benar-benar meresap di relung hati sanubari orang Jawa yang mengadakan perantauan sekitar abad 19 dan abad 20. Semangat orang Jawa yang bersedia melakukan mobilitas antarpulau pada awal abad 20 dilandasi oleh konsep ilmu laku, jangka jangkah, jangkaning jaman. Di samping kepercayaan sebagaimana idiom kearifan Jawa,

bapak truka
anak nampa
putu nemu
buyut nunut
canggah munggah
wareng entheng


Ajaran ini kerap disampaikan oleh Bupati Purworejo, Kelik Sumrahadi. Para pujangga Jawa memberi wejangan lewat sastra Babad. Maka muncullah beragam kitab babad, misalnya Babad Tabah Jawa, Babad Kebumen, Babad Dipanegara, dan Babad Giyanti, yang kesemuanya merupakan untaian butir-butir kebijaksanaan hidup dan penuh dengan suri teladan.

Bersamaan itu pula setelah berdirinya Boedi Oetomo, bangsa kita mulai sadar diri. Pergerakan kemerdekaan yang dipelopori oleh para pahlawan selalu menekankan pola hidup mesu budi lara lapa tapa brata. Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Sikap asketis intelektual ini juga banyak dihayati oleh orang Jawa beserta keturunannya di tanah seberang. Dengan berlaku ajer-ajer, mulur mengkeret, mancala putra mancala putri, para perantau Jawa cukup akomodatif dan adaptif dengan lingkungan baru.

Kini muncul tokoh-tokoh Pujakesuma yang bersebaran di tanah rantau. Di antaranya adalah Pak Gathot yang mendapat kepercayaan sebagai Wakil Gubernur Sumatra Utara. Pak Soekirman yang menjadi Wakil Bupati Serdang Bedagai. Pak Kasim Siyo sebagai Komisaris Bank Pembangunan Daerah (BPD) Sumatra Utara, dan Pak Edi Sutrisno sebagai Walikota Bandar Lampung. Pikiran, tindakan, dan karya mereka merupakan aktualisasi konkrit atas ajaran luhur yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Sebagai akhir dari wacana kali ini, perlu kiranya kita melakukan refleksi spiritual, sosial, intelektual, dan kultural.

Benere wong urip, eling marang uripe.
Lupute wong urip, lali marang uripe.
Benere wong lali, ngudi kawruh kasunyatan.
Lupute wong lali, lumuh ngudi kawruh kasunyatan.
Wajibe wong urip, rumeksa ing uripe
Inane wong urip, ora rumeksa marang uripe.
Asaling pangudi, gelem rumangsa.
Asaling lumuh, tan bisa rumangsa.
Dadi wajib pecak pisan
Wong urip kudu rumangsa kawula.

DAFTAR PUSTAKA

Andjar Any, 1982. Serat Wedhatama. Semarang : Aneka Ilmu.
Bimanputra, 1993. Lagu Karya Nartosabdo. Surakarta : Cendrawasih.
Damardjati Supadjar, 1993. Nawangsari. Yogyakarta : Manggala.
Graaf, 1984. Kerajaan Islam Jawa. Jakarta : Grafiti Press.
Kamajaya, 1990. Serat Centhini. Yogyakarta : Javanologi.
Muhammad Yamin, 1952. Pangeran Diponegoro. Jakarta : Bharata.
Poerbatjaraka, 1956. Riwayat Indonesia. Jakarta : Djambatan.
Sartono Kartodirdjo, 1990. Pengantar Sejarah Nasional. Jakarta : Gramedia.
Slamet Mulyono, 1978. Negara Kertagama. Jakarta : Gunung Agung.
Tamar Jaya, 1965, Pusaka Indonesia, Jakarta, Bulan Bintang.
Zoetmulder, 1991. Manunggaling Kawula Gusti. Jakarta : Gramedia.

BIOGRAFI

DR. PURWADI, M.HUM lahir di Grogol, Mojorembun, Rejoso, Nganjuk, Jawa Timur pada tanggal 16 September 1971. Pendidikan SD sampai SMA diselesaikan di tanah kelahirannya. Gelar sarjana diperoleh di Fakultas Sastra UGM yang ditempuh tahun 1990-1995. Kemudian melanjutkan studi pada Program Pascasarjana UGM tahun 1996-1998. Gelar Doktor di UGM diperoleh pada tahun 2001.

Dalam kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian sering menjadi Narasumber TVRI, RCTI, Trans Tivi, Jogja Tivi, RRI dan Radio Komunitas, Narasumber Koran Kompas, Jawa Pos, Suara Merdeka, Wawasan, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Republika, Majalah Gatra, Kabare Jogja, Djoko Lodang, Gama, Tabloid Adil, Nyata, dan Narasumber Seminar Nasional dan Internasional.

Kini bertugas sebagai Dosen di jurusan Pendidikan Bahasa Daerah Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta, Dosen Pasca Sarjana IAID Ciamis Jawa Barat, Dosen Universitas Widyagama Malang, Akademi Teknik PIRI, dan Tim Penguji Program Doktor Universitas Gadjah Mada. Bersama dengan keluarga, tinggal di Jl. Kakap Raya 36 Minomartani Yogyakarta, Telp 0274-881020 HP 0815 788 65170.

—————

Catatan : Makalah di repro dan download oleh Ir. Soekirman, DPP Pujakesuma disampaikan kepada Bpk Sudarwanto, SP. utk diperbanyak Panitia Pujakesuma Labuhan Batu, Sumut/ cc Bpk Kasim siyo.

2 komentar:

  1. Jebulane meniko blogipun mas Pur to, wah mboten nyangka malah ketemu penulis beberapa buku sejarah, mugi mugi silaturahminipun berlanjut, mas pur, dalem manggen wonten ing Tapos Depok Jabar, sebelah desa wonten desa kebayunan lan warganipun ngaken menawi leluhuripun meniko mbah roro ratu Pembayun saking Mataram, ketoke adoh sungsate, nanging kok radi celak sejarah nggih!

    BalasHapus
  2. Waniyo golek bener mungguhing Gusti. Iku bener kang sejati. Ojo nganti malah golek benere dhewe-dhewe. Iku bener kang biso njlomprongake. Mulo podho sregep ngajiyo sira senadyan wus moncer jenengira, wus meh profesor sesilihira....(Sunan Kali Code). Piye kabarmu Pur? Sungkem kagem simbok lan salam kanggo ponakanku yo....

    BalasHapus