SEDINGKLIK ONGKLAK-ANGKLIK

Minggu, 16 Mei 2010

PERANAN WARANGGANA DALAM ERA GLOBALISASI




Soetrisno R
Ketua Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya
Ketua Javanologi Jawa Timur


ABSTRACT
Waranggana is singers in the perfomance of Javanese wayang purwa. This Wayang remains attractive not because of its fans experiencing nuance switching, but because of the performance itself still has its existence and this catches the attention of the public. Waranggana’s songs provides a wide range of alternatives about the characters applicable to the life, so that the public regards wayang not only as a performance or entertainment, but also as morality adiscourse for social interaction.

Kata Kunci: waranggana, karawitan, entertainment

1. Pendahuluan
Peranan waranggana dalam pergelaran wayang purwa yaitu membantu dalang dengan membawakan lagu-lagu atau melantunkan syair-syair tembang yang disesuaikan dengan jalan cerita atau lakon wayang. Kata waranggana dalam bahasa Kawi Jawa yang berarti wara (wanita) dan anggana (pilihan) (Winter, 1987:295). Dalam dunia pedalangan dan atau karawitan saat ini, kata waranggana biasa disebut juga swarawati atau pesindhèn. Baik swarawati maupun pesindhèn dimaksudkan sebagai seorang penyanyi dalam karawitan yang umumnya dilakukan oleh seorang perempuan (Jazuli, 1999). Mengapa pelantun tembang disebut waranggana, karena sebagai anggana yang mempunyai suara merdu, yang berada di tengah-tengah niyaga yang umumnya dilakukan oleh para pria.
Kehadiran waranggana di arena pergelaran wayang purwa tidak hanya berfungsi sebagai pelantun tembang baik yang telah dibakukan sebagai bagian dari pergelaran wayang purwa maupun sebagai pengisi suasana agar lebih semarak, akrab dan menarik. Waranggana juga mempunyai peran untuk mengantarkan suasana pergelaran yang bersifat komprehensif antara lain: Suasana keagungan atau kebesaran, pada adegan jêjêran kerajaan atau kêdatonan. Suasana riang gembira atau suka cita pada adegan Limbuk Cangik dan pada adegan gara-gara. Suasana sedih, susah dan suasana yang mencekam pada adegan perang.
Suasana keagungan, kegembiraan atau sedih dibawakan oleh para waranggana mewarnai keberhasilan suatu pementasan. Keberhasilan suatu pergelaran merupakan kerjasama yang harmonis antara pangrawit sebagai pengiring, waranggana, dan dalang. Mengingat dalang sebagai pamurba, niyaga atau pangrawit sebagai pamangku irama dan waranggana sebagai pengisi jiwa (yatmaha). Waranggana adalah penyanyi putri yang mempunyai fungsi untuk melantunkan lagu atau gêndhing. Walaupun pelaksanaannya seperti tidak metris tetapi pada prinsipnya berbentuk metris sebab lagu sindènan itu berpedoman pada balungan lagu atau gêndhing.
Kemampuan seorang waranggana untuk mengolah gêndhing pengiring sangat menentukan hasil akhir sebuah pergelaran. Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh seorang waranggana atau syarat yang harus dikuasainya tiga di antaranya seperti disebut di bawah ini (Jazuli, 1999). Waranggana tidak buta irama, artinya dalam menyajikan sindhènan dia harus dapat menyesuaikannya dengan irama yang dipimpin oleh pêngêndang sebagai pamurba irama atau dirigén. Waranggana tidak buta laras, artinya dalam menyajikan sindhènan dia tidak boleh blèro. Untuk itu nada-nada yang keluar dari lagu atau nada rebab sangat menolong waranggana dalam menyesuaikan nada sindhènan-nya. Waranggana wajib mengerti bentuk-bentuk gending yakni bentuk-bentuk lancaran, kêtawang, ladrang, ayak-ayak, srêpêg, gêndhing kethuk 2 (kalih), dan bentuk gending-gending ciptaan baru baik gending-gending dolanan maupun campursari.

2. Ajaran Budi Pekerti Luhur
Sindhènan merupakan salah satu perbendaharaan musikal yang diperlukan dalam karawitan termasuk karawitan pertunjukan wayang kulit. Dalam pelaksanaannya sindhènan menggunakan teks atau syair sebagai cakêpan, yang dapat berupa wangsalan, isén-isén, sêkar, dan parikan. Banyak waranggana yang menggunakan wangsalan, tetapi waranggana yang menyajikan itu, kadang-kadang sering kurang memahami makna yang terkandung dalam wangsalan itu, apalagi penyusun wangsalan itu karena menggunakan kata-kata dan bahasa atau sastra yang tinggi.
Biasanya bagi waranggana yang kreatif, tidak mau hanya melakukan hal-hal yang sudah biasa dilakukan waranggana lain atau kebiasaan-kebiasaan yang ada yang selalu diikuti tanpa ada pengembangan yang berarti. Bagi waranggana kreatif, dia ingin mengadakan pembaruan dalam sindhènan-nya, baik mengenai penggunaan wilêdan maupun dalam penggunaan syair-syairnya. Dalam konteks ini mereka berbahasa untuk membuat wilêdan yang berbeda dengan wilêdan yang disajikan oleh waranggana lainnya. Demikian pula dalam penggunaan syair, mereka berusaha untuk menggunakan syair yang sesuai dengan adegan pertunjukan yang sedang berlangsung. Para waranggana yang telah disebut sebelumnya, biasanya mereka melakukan kreativitas dalam menyajikan sindhènan-nya. Sebagai contoh kasus, dalam suatu pertunjukan wayang kulit dengan dalang Ki Purboasmoro di Bojonegoro bulan Oktober 2002 lalu, dalam menyajikan adêgan gendhing Kututmanggung, dan lagu Capinggunung, waranggana tampil dengan wilêdan yang cukup baik dan sempurna yang membuat kagum seluruh penonton yang jumlahnya kurang lebih 3.000 orang, yang memadati alun-alun Kabupaten Bojonegoro.
Menjadi waranggana atau pesindhen akhir-akhir ini banyak diminati tidak hanya oleh mahasiswa Indonesia tetapi juga oleh mahasiswa dari luar negeri antara lain Ester, seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Indonesia yang berasal dari Inggris sering pentas untuk mendukung pergelaran wayang kulit. Demikian Soumi seorang mahasiswa berasal dari Jepang juga sering berperan sebagai sindhen dari dalang-dalang yang tenar. Akhir-akhir ini ada seorang laki-laki yang berperan sebagai waranggana bernama Suyatno berasal dari Wonogiri, yang suaranya mirip dengan suara waranggana perempuan, yang dapat merubah paradigma lama bahwa waranggana juga dapat dilakukan oleh pria yang bersuara wanita.
Waranggana sesuai dengan peranannya selain melantunkan tembang juga dapat menyanyi untuk memenuhi keinginan masyarakat terutama pada adegan Limbuk-Cangik dan adegan Gara-gara ditandai munculnya Sêmar, Garéng, Pétruk dan Bagong (Satoto, 1987). Dalam adegan ini yang sering terjadi permintaan lagu-lagu dari penonton, semacam pilihan pendengar. Biasanya, kecuali gending-gending karawitan tradisional, juga diperdengarkan lagu-lagu campursari yang berasal dari lagu langgam Jawa dan lagu dangdut. Dalam kasus ini biasanya dalang sudah mempunyai kelompok atau team campursari yang menjadi langganannya, yang mempunyai peralatan dan sekaligus musisinya yang terdiri dari pemain keyboard, pemain biola, pemain gitar, dan pemain drum.
Pementasan wayang kulit sesuai dengan perkembangan seni pentas masa kini atau kontemporer sering ada bintang tamu penyanyi atau pelawak untuk mengisi acara yang bersifat hiburan. Para bintang tamu dan waranggana yang kebetulan berparas cantik dan mempunyai suara merdu, dapat menduduki posisi yang lebih tinggi, baik secara estetik maupun fisik daripada dalang. Secara estetik, para bintang tamu dan waranggana dapat mengambil alih posisi dalang dengan menyajikan tembang-tembang atau lagu-lagu non wayang kulit. Secara fisik, para bintang tamu dan waranggana itu diperbolehkan berdiri, menghadap menonton, dan membelakangi dhalang. Dalam situasi yang demikian, dhalang tidak hanya dapat mengalami pergeseran posisi sebagai pendukung yang ditempatkan di pinggir, melainkan bahkan pergeseran posisi menjadi penonton dengan menoleh ke belakang, ke arah para bintang tamu dan waranggana yang sedang menyanyi itu. Dengan demikian, para bintang tamu dan waranggana dapat dianggap sebagai unsur pertunjukan wayang kulit yang dapat menimbulkan daya tarik tersendiri. Kecantikan dan keindahan suara para bintang tamu dan waranggana tidak hanya sebagai sarana pendukung terbangunnya suasana cerita, melainkan dapat pula menjadi kekuatan yang mempunyai daya tarik dalam dirinya sendiri. Hal inilah yang menyebabkan tempat para bintang tamu dan waranggana terkadang menjadi lebih populer dari pada seni pertunjukan wayang kulit, dhalang, maupun lakon yang didukungnya.

3. Nilai Filosofis Syair Tembang Waranggana
Dalam banyak literatur yang mengkaji kebudayaan Jawa, muncul berbagai pendapat antara lain menyatakan bahwa wayang adalah ungkapan filsafat Jawa; wayang adalah salah satu bentuk manifestasi budaya Jawa yang èdi-péni dan adi-luhung (Koentjaraningrat, 1984). Secara akademis pernyataan itu harus dibuktikan, sehingga diperlukan sebuah eksplanasi yang didukung oleh data dan dikaji secara ilmiah filosofis (Drijarkara, 1978). Dari tilikan filsafati, berkaitan dengan eksistensi filsafat wayang ditemukan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar yang sering diungkapkan oleh pemikir akademisi dan budayawan. Pertanyaan itu antara lain dapat dirumuskan sebagai berikut. Pertama, apakah dalam wayang sungguh-sungguh ditemukan kandungan filsafat? Kedua, jika ada, apakah dalam filsafat wayang ditemukan sistem-sistem pemikiran yang bersifat sistematis; misalnya apakah terdapat rumusan tentang ontologi wayang, tentang epistemologi wayang, dan tentang aksiologi wayang? Ketiga, dimana posisi filsafat wayang dalam semesta wacana filsafat pada umumnya.
Sebelum memasuki refleksi atas asumsi ontologi, epistemologi, dan aksiologi wayang; kiranya perlu dikemukakan di sini beberapa catatan penting terkait dengan filsafat wayang (Bakker, 984). Pertama, secara historis wayang pada hakikatnya merupakan bagian dari kebudayaan Jawa, walaupun sebagian ceriteranya bersumber pada epos India Hindu, namun bentuk wayang di Jawa dikerjakan berdasarkan sikap kebudayaan Jawa. Bahkan karena begitu besarnya pengaruh wayang atas kehidupan orang Jawa, maka tidak berlebihan bila dikatakan bahwa yang merupakan identitas budaya Jawa. Kedua, wayang tidak lain dan tidak bukan adalah simbol hidup dan kehidupan itu sendiri. Sri Mulyono (1989: 275) menegaskan bahwa wayang adalah ensiklopedi tentang hidup yang diungkapkan secara ontologik-metafisik. Wayang adalah simbol keberadaan atau cara beradanya manusia, yang dalam pertunjukan dimulai dari pendapa suwung atau kosong dan diakhiri atau kembali menjadi pendapat suwung lagi. Ketiga, wayang dapat dikatakan sebagai literatur mengenai filsafat Jawa. Sebagai filsafat, wayang adalah simbol sangkan paran dan perbuatan yaitu sikap atau cara manusia beramal dan berjalan menuju kepada penciptanya. Pergelaran wayang semalam suntuk adalah lambang atau simbol renungan transendental atau metafisis-religius. Dalam istilah paguron faham semacam itu disebut sangkan paraning dumadi. Keempat, wayang oleh kebanyakan orang selalu dikaitkan dengan mitos, mistik, magi, dan ritus. Namun dalam perkembangannya wayang mengalami diferensiasi fungsional, fungsi wayang mengalami pergeseran dari mitos ke logos. Nilai filosofis yang tercermin dalam syair tembang waranggana selalu menyertai pergelaran wayang purwa, sehingga pertunjukan menjadi lebih hidup.
Dalam pergelaran wayang purwa, wayang adalah simbol hidup (wêwayangé ngaurip) (Darusuprapta, 1972). Hidup sebagai prinsip ontologi dengan jelas disimbolkan kayon (gunungan berdiri di tengah) sebelum pergelaran dimulai dan sesudah pergelaran selesai dipentaskan. Oleh karena itu, hidup dapat dikategorikan sebagai prinsip pertama (the first principle) dalam ontologi wayang. Dalam tradisi filsafat Barat, pandangan ini hampir mirip dengan vitalisme-spiritual, sebuah faham kefilsafatan yang menjadikan hidup sebagai pangkal tolak untuk menjelaskan realitas. Filsafat wayang cenderung pada pemikiran yang menjadikan kehidupan rohani sebagai dasar dan memberi isi kebudayaan.
Filsafat wayang tidak bertanya tentang manusia itu, namun eksistensi manusia pertama-tama diasumsikan sebagai kenyataan hidup. Dari kenyataan itu kemudian muncul pertanyaan yang mendasar dari mana dan kemana akhirnya. Di sini terlihat gerak keterlibatan manusia itu sendiri. Dari sinilah dikenal konsep-konsep yang kemudian terkenal dengan ungkapan: sangkan paraning dumadi, dumadining sangkan paran, sangkan paraning manungsa. Jawaban atas persoalan tentang apakah realitas itu satu atau banyak dalam pandangan filsafat wayang antara lain dapat dirumuskan bahwa realitas yang sungguh-sungguh nyata (kasunyatan) berada dalam kesatuannya dengan yang mutlak.

4. Relevansi bagi Kehidupan Masa Kini
Syair-syair tembang waranggana masih relevan dengan kehidupan masa kini. Dalam lakon Dewaruci pada salah satu bait diuraikan, bahwa Sang Suksma adalah pemegang hidup, menjadi inti dhat, sifatnya nyata dan kekal. Sang suksmalah yang akan terus mengabdi pada Sang Hidup Sejati. Sang Hidup Sejati inilah sebenarnya yang dimaksud sebagai asal dan tujuan hidup. Tujuan segala realitas adalah menyatu dengan-Nya, perpaduan antara Abdi dan Gusti atau kawula lan Gusti menurut Dewaruci tidak dapat digambarkan, karena tidak berwujud. Perpaduan itu seperti digambarkan orang yang sedang bercermin. Bagaimana manusia bisa bersatu dengan sumber hidup adalah dengan menjalani : hidup dalam mati, mati dalam hidup. Hidup langsung adanya, yang mati itu nafsu-nafsu.
Tentang sumber pengetahuan, dalam wacana kefilsafatan dikenal ada bermacam-macam sumber pengetahuan, yang masing-masing dinyatakan paling valid dan paling adekuat oleh pendukung-pendukungnya. Para pemikir yang menekankan bahwa pikiran atau akal adalah yang pokok dalam pengetahuan dinamakan rasionalis. Rasionalisme adalah aliran yang mengajarkan bahwa manusia mengetahui apa yang dipikirkannya, akal manusia memiliki kemampuan untuk menangkap dan mengungkapkan kebenaran (Suseno, 1986). Dengan demikian, akal atau pikiran diyakini sebagai sumber pengetahuan yang pokok.
Berbeda dengan aliran rasionalisme. Empirisme yang mengajarkan bahwa apa yang dilihat, disentuh, didengar, dicium, dan dicicipi manusia adalah pengalaman konkret guna membentuk pengetahuan. Empirisme menekankan kemampuan manusia untuk persepsi, atau pengamatan, atau apa yang diterima panca indera dari lingkungan. Pengetahuan diperoleh dengan membentuk ide sesuai dengan fakta yang diamati manusia. Dengan ringkas, empirisme beranggapan bahwa manusia mengetahui dari apa yang didapatkan panca inderanya.
Di samping kedua sumber tersebut ada beberapa pendapat lain yang meyakini sebagai sumber pengetahuan. Pertama, intuisisme, yang beranggapan bahwa intuisi adalah sumber pengetahuan yang mengatasi akal atau pengalaman. Intuisi adalah bentuk pengamatan langsung atas pengetahuan yang tidak merupakan hasil pemikiran yang sadar atau persepsi yang langsung. Mengenai intuisi dapat diberi penjelasan sebagai berikut. (1) Intuisi merupakan hasil tumpukan pengalaman dan pemikiran seseorang pada masa lalu; (2) Intuisi adalah satu macam pengetahuan yang lebih tinggi, wataknya berbeda dengan pengetahuan yang diungkapkan oleh indera atau akal; (3) Intuisi dalam penjabaran-penjabaran mistik memungkinkan manusia mendapatkan pengetahuan yang langsung untuk mengatasi pengetahuan yang diperoleh melalui akal atau indera.
Kedua, pengetahuan yang bersumber pada otoritas dan wahyu. Otoritas sebagai sumber pengetahuan bukan hanya menunjuk pada diri seseorang tetapi juga institusi atau lembaga tertentu yang diyakini menjadi sumber pengetahuan. Wahyu sebagai sumber pengetahuan sebagaimana diyakini oleh penganut-penganut agama tertentu. Pengetahuan yang berdasar pada wahyu dianggap sebagai salah satu jenis pengetahuan yang paling objektif dengan tingkat kebenaran paling universal karena ia berasal dari Tuhan.

5. Penutup
Atas dasar pandangan para pakar yang selama ini menggeluti wacana arkeologi pengetahuan atau sosiologi pengetahuan, menyatakan bahwa setiap sistem kebudayaan di mana pun di dalamnya selalu dapat ditemukan epistemologinya sendiri, tentu demikianlah pada filsafat wayang. Salah satu istilah yang sangat populer dikenal dalam kebudayaan Jawa yang terkait dengan pengetahuan adalah tentang kawruh Jawa atau pangawikan. Kawruh atau pangawikan bukan hanya sekedar pengetahuan atau ngèlmu biasa, tetapi ia memiliki derajat yang lebih tinggi, karena ia diperoleh melalui laku, sebagaimana dinyatakan dalam ungkapan ngèlmu iku kêlakoné kanthi laku kemudian ditutup dengan ungkapan sêtya budya pangêkêsé dur angkara.
Dalam lakon Dewaruci ungkapan itu memperoleh maknanya, dikisahkan bahwa Bima atas petunjuk gurunya disuruh mencari tirta amarta, yang diperoleh di dasar samudra melalui perjuangan, mengatasi segala rintangan yang berat, namun pada akhirnya Bima bertemu dengan Dewaruci yang merupakan replika dirinya (Hazim, 1994). Lakon itu menunjukkan bagaimana manusia Bima sampai pada pengetahuan hakikat atau pengetahuan sejati sangkan paran dalam manunggaling kawula Gusti. Bima turun ke dalam batinnya sendiri guna mencapai derajat kasampurnaning ngaurip. Haqiqa itu sendiri artinya ialah kebenaran dasar, kebenaran mutlak, jadi merupakan kategori epistemik sejati. Dalam diri Dewaruci, Bima semula merenungkan fenomena awang-uwung atau kekosongan sejati, begitulah ia merasakan hidup dalam jagad walikan atau sungsang bawana balik. Di situlah ia memperoleh pencerahan dalam penghayatan holistik-integral atas realitas yang sekaligus bermantra tiga kawasan yakni kepala, hati, dan aurat. Di sini terkait dengan tipe-tipe kapabilitas kompatibel, pencerahan, perasaan, dan esensi hidup. Demikian pula yang terjadi dalam lakon Arjunawiwaha. Arjuna pergi bertapa tujuannya adalah agar memperoleh kekuatan batin dan dapat melihat Siwa.
Samadi sebagai laku untuk memperoleh pengetahuan sejati wahana yang dipakai adalah rasa atau rahsa hidup dengan bertumpu pada intuisi sebagai instrumennya. Jenis pengetahuan intuitif yang didambakan itu kesucian menjadi substansinya. Modalitas kesucian ini sebenarnya derivatif dari wayang itu sendiri yang dalam genesisnya berciri sakral. Kesucian pengetahuan berciri paradigmatik dalam pengetahuan sejati. Lakon Dewaruci dan Arjunawiwaha bermakna serangkaian upaya mencapai pengetahuan sejati yang serba suci, ia dinamakan bukan ilmu pengetahuan biasa melainkan ngelmu yang dimensi spiritualnya mencolok dan tak terbantahkan.


DAFTAR PUSTAKA

Amir, Hazim. 1994. Nilai-nilai Etis dalam Pewayangan. Sinar Harapan. Jakarta.
Bakker, J.W.M. 1984. Filsafat Kebudayaan. Kanisius. Yogyakarta.
Budiono Heru Satoto. 1987. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Hanindita. Yogyakarta.
Darusuprapta. 1972. Wayang dan Kesusasteraan Jawa. Penelitian Fakultas Sastra UGM. Yogyakarta.
Drijarkara. 1978. Percikan Filsafat. Pembangunan. Jakarta.
Jazuli, Mohamad. 1999. “Dalang Pertunjukan Wayang Kulit. Studi Tentang Ideologi Dalang Dalam Perspektif Hubungan Negara dengan Masyarakat”. Disertasi. Universitas Airlangga.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Balai Pustaka. Jakarta.
Magnis Suseno, Franz. 1986. Kuasa dan Moral. Gramedia. Jakarta.
Mulyono, Sri. 1982. Wayang dan Filsafat Nusantara. Haji Masagung. Jakarta.



Biografi Penulis


Dr. H. Soetrisno R., M.Si lahir pada tanggal 25 Mei 1938 di Blora. Menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Kependidikan Universitas Airlangga Surabaya. Kemudian melanjutkan pada Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang. Program Doctor diselesaikan di Universitas Gadjah Mada tahun 2004.
Pernah Menjadi anggota DPR/MPR RI, menjabat sebagai Bupati Nganjuk (1993-2003). Kini menjabat sebagai Ketua Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar